A.
KEADAAN BANTEN PRA ISLAM
Daerah Banten memiliki beberapa data
arkeologi dan sejarah dari masa sebelum Islam masuk ke daerah ini, sumber data
arkeologi menujukan bahwa sebelum Islam masyarakat Banten hidup pada masa
tradisi prasejarah dan tradisi Hindu-Buddha. Tradisi prasejarah ditandai oleh
adanya alat-alat kehidupan sehari-hari dan kepercayaan yang mereka anut, demikian
pula dengan masa kehidupan Hindu dan Buddha ditandai oleh peninggalan Hindu
masa itu berupa prasasti arca Nandi dan benda-benda arkeologi lainnya, serta
naskah-naskah kuno yang mencatat keterangan tentang kehidupan masyarakat pada
masa itu.
Selain itu di Banten terdapat sisa-sisa
kebudayaan megalitik tua (4500 SM hingga awal masehi) seperti menhir di lereng
gunung Karang di Padeglang, dolmen dan patung-patung simbolis dari desa
Sanghiang Dengdek di Menes, kubur tempayan di Anyer, kapak batu di Cigeulis, batu
bergores di Ciderasi desa Palanyar Cimanuk dan lain sebagainya.Penggunaan
alat-alat kebutuhan yang dibuat dari perunggu yang terkenal dengan kebudayaan
Dong Son (500-300 SM) juga mempengaruhi penduduk Banten. Hal ini terlihat
dengan ditemukannya kapak corong terbuat dari perunggu di daerah Pamarayan,
Kopo Pandeglang, Cikupa, Cipari dan Babakan Tanggerang. Selain bukti arkeologi
berupa arca Siwa dan Ganesha ini belum ada lagi data sejarah yang cukup kuat
untuk menunjang keberadaan kerajaan Salakanagara ini yang lebih jelas, adapun
prasasti Munjul yang ditemukan terletak disungai Cidanghiang. Lebak Munjul
Pandegalng adalah prasasti yang bertuliskan Pallawa dengan bahasa Sangsekerta
menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman, ini berarti
bahwa daerah kekuasaan Tarumanegara sampai juga ke daerah Banten, karena
kerajaan Tarumanegara pada masa itu berada dalam keadaan makmur dan jaya. Pada
awal abad ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun, dengan pusat
pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan Banten Lama hanyalah
berfungsi sebagai pelabuhan saja.Untuk menghubungkan antara Banten Girang
dengan pelabuhan Banten, dipakai jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu
masih dapat dilayari. Tapi disamping itu pula masih ada jalan darat yang dapat
dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua.
B.
LATAR BELAKANG ISLAM DI BANTEN
Penyebaran Islam di Banten dilakukan
oleh Syarif Hidayatullah, pada tahun 1525 M dan 1526 M. Seperti di dalam naskah
Purwaka Tjaruban Nagari
disebutkan bahwa Syarif Hidayatullah setelah belajar di Pasai mendarat di
Banten untuk meneruskan penyebaran agama Islam yang sebelumnya telah dilakukan
oleh Sunan Ampel. Pada tahun 1475 M, beliau menikah dengan adik bupati Banten
yang bernama Nhay Kawunganten, dua tahun kemudian lahirlah anak perempuan
pertama yang diberinama Ratu Winahon dan pada tahun berikutnya lahir pula
pangeran Hasanuddin. Setelah Pangeran Hasanuddin menginjak dewasa, syarif
Hidayatullah pergi ke Cirebon mengemban tugas sebagai Tumenggung di sana.
Adapun tugasnya dalam penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Pangeran
Hasanuddin, di dalam usaha penyebaran agama Islam Ini Pangeran Hasanuddin
berkeliling dari daerah ke daerah seperti dari G. Pulosari, G. Karang bahkan
sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Sehingga berangsur-angsur penduduk
Banten Utara memeluk agama Islam.
Karena semakin besar dan maju daerah
Banten, maka pada tahun 1552 M, Kadipaten Banten dirubah menjadi negara bagian
Demak dengan Pangeran Hasanuddin sebagai Sultannya. Atas petunjuk dari Syarif
Hidayatullah pusat pemerintahan Banten dipindahkan dari Banten Girang ke dekat
pelabuhan di Banten Lor yang terletak dipesisir utara yang sekarang menjadi
Keraton Surosowan. Pada tahun 1568 M, saat itu Kesultanan Demak runtuh dan digantikan
oleh Panjang, Barulah Sultan Hasanuddin memproklamirkan Banten sebagai negara
merdeka, lepas dari pengaruh Demak atau pun Panjang. Disamping itu Banten juga
menjadi pusat penyebaran agama Islam, banyak orang-orang dari luar daerah yang
sengaja datang untuk belajar, sehingga tumbuhlah beberapa perguruan Islam di
Banten seperti yang ada di Kasunyatan. Ditempat ini berdiri masjid Kasunyatan
yang umurnya lebih tua dari masjid Agung Banten. Disinilah tempat tinggal dan
mengajarnya Kiayi Dukuh yang bergelar Pangeran Kasunyatan guru dari Pangeran
Yusuf.
Kerajaan Islam di Banten Saat itu lebih dikenal oleh
masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten. Kesultanan
Banten telah mencapai masa kejayaannya dimasa lalu dan telah berhasil merubah
wajah sebagian besar masyarakat Banten. Pengaruh yang besar diberikan oleh
Islam melalui kesultanan dan para ulama serta mubaligh Islam di Banten
seperti tidak dapat disangsikan lagi dan
penyebarannya melalui jalur politik, pendidikan, kebudayaan dan ekonomi di masa
itu.
C.
PROSES ISLAMISASI.
Proses perluasan Islam di Banten
lebih banyak dikisahkan melalui gerbang Jawa Barat yakni Cirebon. Proses ini
menjadi mungkin karena kondisi kekuasaan politik yang kuat waktu itu di Jawa
adalah Jawa Tengah. Tetapi islamisasi Indonesia melalui pintu barat. Oleh
karena itu mempunyai kemungkinan besar bila masuknya islam dari pintu gerbang
Barat. Dalam hal ini mungkin dari pelabuhan Sunda Kelapa ataupun Banten. Perlu
ditambahkan disini bahwa penyebaran Islam melalui jalur perniagaan, sehingga
tidak pernah terjadi agresi militer maupun agama. Dalam penyebaran ini Islam
tidak mengenal adanya organisasi missi ataupun semacam zending. J.C Van Leur
dalam hal ini menjelaskan bahwa setiap pedagang Islam merangkap sebagai da’i.
Itulah sebabnya masuk dan meluasnya Islam di Indonesia melalui jalur
perniagaan.
D. PENDIRI
AGAMA ISLAM DI BANTEN
1. FATAHILAH
( WAFAT PADA TAHUN 1570 )
Kerajaan Banten
muncul ketika seorang anak muda Pasai keturunan Makkah yang datang ke Demak
untuk mengabdi kepada Sultan Trenggono. Dia diangkat menjadi panglima perang,
dan mendapat hadiah menikah dengan adik nya Sultan Demak. Dia adalah panglima
perang dalam penaklukan kota Banten yang di kuasai oleh Portugis yaitu Syarif
Hidayatullah atau Maulana Nuruddin Ibrahim. Dia adalah ayah dari Sultan
Hasanuddin Raja pertama dari kerajaan Banten. Dia juga peletak dasar
pengembangan agama Islam dan kerajaan Islam serta bagi pedagang orang – orang
di sana. Keberhasilan nya menaklukan kota Banten maka dia mendapat gelar dari
Sultan Trenggono yaitu Fatahilah dan oleh bangsa Portugis di sebut Falatehan.
Dalam kemenangan ini dia mensyukuri dengan memberi nama baru, Kota Sunda Kelapa
dengan Jayakarta yang artinya kemenangan. Dalam eksfedisi nya dia memilih yang
pertama agar jalan menjadi lancar. Dia berhasil dengan gilang-gemilang yang
arti nya kota itu sangat penting karena sebagai batu loncatan untuk menancapkan
kaki ke pantai sebelah selatan Sumatera (Lampung dan Palembang).
Dalam masa
kepemimpinan nya, Fatahilah mencanang kan menguasai kunci-kunci kota dan
menyebar kan agama Islam dimana kota yang ia duduki. Semua yang Fatahilah canangkan
mencapai pada puncak kesuksesan walaupun beribu halangan tetapi tidak membuat
dia gentar. Dia juga tidak menguasai kota Banten tetapi juga Jakarta, Cirebon
dan juga mendapat sebutan penguasa besar Jawa Barat. Kerajaan yang dia duduki
masih di bawah naungan Kerajaan Demak. Dan dia juga berjasa menjadikan
pelabuhan Banten ramai di datangi saudagar-saudagar dari luar negeri sehingga
ekonomi rakyat makmur, dalam penyebaran agama sukses.
Fatahilah wafat
pada tahun 1570 M. Dia menyerahkan kepemimpinan nya kepada putera nya
Hasanuddin, tapi sebelumnya dia sudah mengundurkan diri dari kerajaan dan
mendirikan sebuah tempat pendidikan yang bernama Gunung Jati (Cirebon) dan di
bukit itu pula dia di makam kan.
2. SULTAN
MAULANA HASANUDDIN ( 1552-1570 M )
Sultan Maulana Hassanudin memerintah
sebagai raja pertama Kesultanan Banten dari tahun 1552 M hingga wafatnya di
tahun 1570 M. Pada masa pemerintahannya, digambarkan kota Banten telah
berkembang sangat pesat. Jumlah penduduk diperkirakan telah mencapai 70.000
jiwa. Terletak di pertengahan pesisir teluk Banten, Kota yang dikenal dengan
nama Surosowan ini memiliki panjang 400 hingga 850 depa. Kota Banten dilewati
sungai jernih yang dapat dilalui oleh kapal jung dan gale. Kota Banten
dikelilingi benteng bata setebal tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan
pertahanan dua lantai terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan meriam. Di tengah
kota terdapat alun alun yang digunakan untuk kegiatan ketentaraan, kesenian
rakyat dan juga sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di sisi
selatan alun alun, disampingnya dibangun bangunan datar yang ditinggikan dan
diatapi yang disebut srimanganti, sebagai tempat raja bertatap muka dengan
rakyat. Di sebelah barat alun alun dibangunlah Masjid Agung Banten.
Sultan Hassanudin dalam usahanya membangun dan mengembangkan
kota Banten lebih menitik beratkan pada pengembangan sektor perdagangan,
disamping memperluas lahan pertanian dan perkebunan. Pada masa pemerintahannya,
Banten telah menjadi pelabuhan utama di Nusantara, sebagai persinggahan utama
dan penghubung pedagang pedagang dari Arab, Parsi, Cina, dengan kerajaan
kerajaan di Nusantara. Cara jual beli saat itu, masih menggunakan sistem
barter, dan juga sudah mulai digunakan mata uang sebagai alat tukar. Mata uang yang
digunakan adalah Real Banten dan cash cina (caxa). Terjadinya krisis
kepemimpinan di Kesultanan Demak pada tahun 1547-1568 M, mendorong Sultan
Hassanudin untuk melepaskan diri dari Kesultanan Demak dan menjadikan Banten
kerajaan yang berdiri sendiri. Saat itu, wilayah Kesultanan Banten telah
meliputi Banten, Jayakarta, Kerawang, Lampung, Inderapura, sampai Solebar. Dan
itulah sebabnya dia di anggap sebagai raja Islam pertama di Banten.
Sultan Hassanudin wafat tahun 1570 M
dan dimakamkan di samping Masjid Agung. Setelah wafatnya, Maulana Hassanudin
dikenal dengan sebutan Sedakinking. Sebagai penggantinya, dinobatkanlah
Pangeran Yusuf sebagai Raja Banten ke 2.
3.
SULTAN MAULANA YUSUF (1570-1580 M)
Pada masa kepemerintahan Sultan Maulana Yusuf, strategi
pembangunan dititik beratkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah,
perdagangan dan pertanian. Pada saat itu, perdagangan sudah sangat maju
sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang barang dari seluruh dunia
yang nantinya akan disebarkan ke seluruh nusantara. Dengan majunya perdagangan
maritim di Banten, maka kota Surosowan dikembangkan menjadi kota pelabuhan
terbesar di Jawa. Ramainya kota baru ini dengan penduduk pribumi maupun
pendatang membuat diberlakukannya aturan penataan dan penempatan penduduk
berdasarkan keahlian dan asal daerah penduduk. Perkampungan untuk orang asing
biasanya ditempatkan di luar tembok kota, seperti Pekojan yang diperuntukan
bagi pedagang muslim dari kawasan Arab ditempatkan di sebelah barat pasar
Karangantu, Pecinan yang diperuntukan bagi pendatang dari Cina ditempatkan di
sebelah barat Masjid Agung, di luar batas kota. Penataan pengelompokan
pemukiman ini selain bertujuan untuk kerapian dan keserasian kota juga untuk
kepentingan keamananan, dan merupakan upaya penyebaran dan perluasan kota.
Selain penataan pemukiman, juga dilakukan perkuatan dan penebalan tembok
keliling kota dan tembok benteng sekeliling istana. Tembok benteng diperkuat
dengan lapisan luar yang terbuat dari bata dan batu karang dengan parit parit
disekelilingnya. Perbaikan Masjid Agung juga dilakukan dan penambahan
bangunan menara dengan bantuan Cek Ban Cut, arsitek muslim asal Mongolia.
Untuk kepentingan irigasi bagi
persawahan yang berada di sekitar kota dan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih
bagi kota Surosowan, di buatlah danau buatan yang dinamakan Tasikardi. Air dari
sungai Cibanten dialirkan melalui terusan khusus ke danau ini, yang kemudian
disalurkan ke daerah daerah sekitar danau. Dengan melalui pipa-pipa terakota,
setelah diendapkan di Pengindelan Abang dan Pengindelan Putih, air yang sudah
jernih dialirkan ke keraton dan tempat tempat lain di dalam kota. Di tengah
danau buatan ini juga dibuat pulau kecil yang digunakan sebagai tempat rekreasi
keluarga keraton.Pada tahun 1579 M Pasukan Banten di bawah pimpinan Sultan
Maulana Yusuf berhasil merebut Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran dan menguasai
seluruh wilayah bekas kerajaan Pajajaran. Raja terakhir yang memerintah
Kerajaan Pajajaran adalah Raga Mulya atau Prabu Surya Kencana, yang juga
dijuluki Prabu Pucuk Umun atau Panembahan Pulosari, karena pada akhir masa
kepemerintahannya berkedudukan di gunung Pulosari, Pandeglang. Benteng Pulosari
dapat dikuasai oleh Sultan Maulana Yusuf pada tanggal 8 Mei 1579/11 Rabiul Awal
987 H. Setelah berhasil dikalahkan, seluruh punggawa kerajaan Pajajaran
diislamkan dan dibiarkan kembali memangku jabatannya sehingga dapat menjamin
stabilitas keamanan di seluruh wilayah Banten.
Sultan Maulana Yusuf wafat pada
tahun 1580 M dan dimakamkan di Pakalangan Gede dekat kampung Kasunyatan
sekarang, dan karenanya beroleh gelar Pangeran Panembahan Pakalangan Gede atau
Pangeran Pasarean. Sebagai pengganti, diangkatlah putranya, Pangeran Muhammad
yang pada waktu itu baru berusia 9 tahun.
4. SULTAN
MAULANA MUHAMMAD (1580-1596)
Keadaan Banten padamasa Sultan
Maulana Muhammad dapat diketahui berdasarkan kesaksian Willem Lodewycksz yang
mengikuti Cornelis de Houtman yang mendarat di pelabuhan Banten tahun 1596.
Dari catatan mereka diketahui bahwa Kota Banten mempunyai tembok tembok yang
lebarnya lebih dari depa orang dewasa dan terbuat dari bata merah. Diperkirakan
besarnya sebesar kota Amsterdam tahun 1480 M dan orang dapat melayari seluruh
kota Banten melalui banyak sungai. Setiap kapal asing yang hendak berlabuh di
Bandar Banten diharuskan melalui semacam pintu gerbang dan membayar bea masuk.
Transaksi perdagangan di pasar ini berjalan mudah karena mata uang dan
pertukaran mata uang (money changer) sudah dikenal. Maulana Muhammad terkenal
sebagai orang yang saleh. Untuk kepentingan penyebaran agama Islam, beliau
banyak mengarang kitab agama Islam dan membangun masjid hingga ke pelosok
negeri. Sultan juga menjadi khatib dan imam untuk setiap shalat Jum’at dan Hari
Raya. Pada masa kepemimpinannya, Masjid Agung diperindah dengan melapisi
dinding dengan keramik dan kolomnya dengan kayu cendana, untuk tempat shalat
perempuan disediakan tempat khusus yang disebut pawastren atau pawadonan.
Sultan Maulana Muhammad wafat pada
tahun 1596 pada saat penyerangan ke Palembang, perang yang dimulai akibat
bujukan Pangeran Mas, keturunan dari Kerajaan Demak yang ingin menjadi Raja
Palembang. Sultan tertembak ketika memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri di
Sungai Musi. Sultan Maulana Muhammad wafat di usia 25 tahun, dimakamkan di
serambi Masjid Agung dan beroleh gelar Pangeran Seda ing Palembang atau
Pangeran Seda ing Rana. Sultan meninggalkan putra yang baru berusia lima bulan,
yaitu Abul Mafakhir, yang ditunjuk sebagai penggantinya
5. SULTAN
ABUL MAFAKHIR (1596-1651 M)
Sultan Abul Mafakhir yang baru
berusia lima bulan, untuk menjalankan roda pemerintahan maka ditunjuklah
Mangkubumi Jayanegara, seorang tua yang lemah lembut dan luas pengalamannya
dalam pemerintahan sebagai walinya. Masa awal pemerintahan Sultan yang masih
balita ini merupakan masa masa pahit dalam sejarah Kesultanan Banten karena
banyaknya perpecahan dalam keluarga kerajaan, dengan berbagai kepentingan yang
berbeda serta keinginan untuk merebut tahta kerajaan. Pada saat Mangkubumi
Jayanegara wafat di tahun 1602 M, perwalian dikembalikan ke ibunda sultan, Nyai
Gede Wanagiri. Nyai Gede Wanagiri yang telah menikah kembali, mendesak agar
suami barunya ditunjuk sebagai Mangkubumi. Mangkubumi yang baru ini, dalam
kenyataannya banyak menerima suap dari pedagang asing, sehingga tidak memiliki
wibawa dan keputusannya lebih banyak tidak ditaati. Kekacauan di dalam
negeri semakin membesar dan tidak dapat ditangani karena Mangkubumi lebih sibuk
mengurus keributan yang ditimbulkan oleh pedagang Belanda dengan pedagang
Inggris, Portugis, maupun pedagang dalam negeri.
Puncak dari kekacauan itu adalah
dibunuhnya Mangkubumi, yang memicu terjadinya perang saudara yang dikenal
dengan nama Perang Pailir, yang terjadi di tahun 1608 – 1609 M. Perang untuk
memperebutkan tahta yang dilancarkan oleh Pangeran Kulon, saudara sultan lain
ibu ini, dapat dihentikan atas usaha Pangeran Jayakarta hingga dibuat
perjanjian perdamaian antara semua pihak. Salah satunya adalah diangkatnya
Pangeran Ranamanggala sebagai Mangkubumi dan wali dari sultan muda, semenjak
itu Banten menjadi aman kembali. Pangeran Ranamanggala adalah putra Maulana
Yusuf, saudara beda ibu dengan Sultan Maulana Muhammad. Selama menjabat sebagai
Mangkubumi, tindakan utama yang diambil adalah mengembalikan stabilitas
keamanan Banten dan menegakan peraturan untuk kelancaran pemerintahan, yang
bahkan Sultan sendiri tidak diperkenankan untuk ikut campur. Dengan cara
demikian, Banten dapat terselamatkan dari kehancuran akibat rongrongan dari
dalam maupun luar negeri. Mangkubumi dalam menghadapi bangsa asing tidak berat
sebelah atau memihak pihak manapun. Beberapa kebijakan penting yang diambil :
- Penghapusan keharusan bagi pedagang Cina untuk menjual lada kepada pedagang Belanda
- Penetapan pajak ekspor lada dan pajak impor bagi barang barang yang sebelumnya tidak terkena pajak
- Pemberlakuan pajak yang lebih tinggi bagi pedagang dari Belanda. Hal ini dilakukan agar pedagang dari Belanda tidak berniaga di Banten karena perilaku pedagang Belanda yang kasar dan mau mencampuri urusan pemerintahan dan dalam negeri Banten.
6.
SULTAN AGENG TIRTAYASA (1651-1682 M)
Pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa, Banten merupakan
Kesultanan Nusantara yang mempunyai hubungan internasional, baik dengan Kesultanan
Aceh yang mendapat gelar Serambi Makkah atau pun Kesultanan Mughal di India.
Bahkan, Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar Sultan Haji karena ia menunaikan
ibadah haji, gelar yang pertama kali di miliki raja Jawa. Baru pada tahun 1645
M raja Mataram dan selanjutnya di susul raja Makasar, keduanya mendapat gelar
Sultan. Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, kerajaan Banten adalah
kerajaan yang paling ketat melaksana kan hukum Islam. Di masa Sultan Ageng, di
berlakukan hukum potong tangan kanan selanjutnya potong tangan kiri untuk
pencurian harta secara berturut-turut senilai sekurang-kurang nya satu gram
emas.Sultan Ageng
mempunyai mufti Syaikh Yusuf al-Makasari yang melihat dari nama nya, berasal
dari Makasar. Sejak muda, Sultan Ageng (yang waktu itu masih putra mahkota)
bersahabat dengan Muhammad Yusuf yang sesudah belajar di kampungnya sendiri di
Makasar, singgah di Banten dan kemudian belajar ke Aceh selanjutnya ke Makkah
selama ± 30 tahun. Sekembalinya di Indonesia, Kerajaan Makassar telah di kalah
kan oleh Belanda, maka Yusuf yang telah menjadi ulama besar di minta untuk
menjadi mufti di Banten sekaligus menjadi menantu sahabat nya, Sultan Ageng
Tirtayasa. Di Banten, selain melaksanakan hukum potong tangan terhadap pencuri
juga menghukum orang yang menggunakan opiumdan tembakau. Hukuman berat juga di
laksanakan terhadap pelaku pelanggaran seksual.
Demikian lah keberagaman kerajaan Banten beserta pelaksanaan
syariat Islam kelihatan lebih ketat di bandingkan kerajaan Islam lain nya di Jawa.
Ini terjadi karena Banten yang mempunyai hubungan internasional dengan Negara
Islam besar, sehingga menjadi tempat persinggahan dan transaksi perdagangan
internasional. Bangsa lain yang berdagang di Banten antara lain Persia, Arab,
Keling, Koja, Pegu, Cina, Melayu. Walaupun kedudukan Banten nanti kalah dengan
Jayakarta (yang kemudian menjadi Batavia) yang di jadikan pusat perdagangan
oleh Belanda, sehingga Banten menjadi mundur, Sultan Ageng di tawan Belanda,
Syaikh Yusuf di buang, tetapi pelaksanaan syariat Islam masih tetap ketat.
Ketika pada tahun 1813 Kesultanan Banten di bumihanguskan oleh Daendels,
keturunan Sultan Ageng masih terus mengembang kan syariah Islam, salah seorang
di antaranya adalah Al-Nawawi al-Bantani (1813-1897 M)
yang melahirkan murid-murid yang menjadi ulama-ulama besar di Jawa, di antara
nya:
· K.H. Hasyim Asyari, Pendiri NU
Tebuireng
· K.H. Asyari, Bawean, menantu Nawawi
· K.H. Ilyas, Keragilan Serang
· K.H Abd. Gaffar, Tirtayasa, Serang,
dll.
Walaupun kelak Banten sebagai
Kesultanan resmi telah hancur, tetapi keturunannya di luar istana tetap
mengembang kan berbagai kegiatan agama baik mendiri kan pesantren ataupun
pengiriman putra-putrinya memperdalam ilmu agama ke Makkah. Oleh karena itu, Snouck
Hurgronje menyebut penduduk Banten lebih taat dalam melaksanakan kewajiban
agamanya di bandingkan orang Jawa lainnya.