Kondisi Umum Masyarakat Banten
Sejak
dihancurkannya kesultanan Banten pada tahun 1813 oleh Gubernur Jenderal
Deandeles, praktis Banten dinyatakan daerah jajahan Belanda. Kekuatan
Belanda di Banten memaksa perubahan, dan sejak itu seluruh daeah di
Banten mengalami guncangan. Sebab ketika penetrasi kolonial secara
intensif menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat melalui pajak yang
berat, pengerahan tenaga buruh yang berlebihan, dan peraturan yang
menindas, serta tekanan militer yang represif,
jelas realitas sosial-politik di Banten dirasakan sebagai kenyataan yang
jauh dari apa yang mereka harapkan.
Kolonialisme
sebagai bentuk penguasaan wilyah memiliki system administrasi yang
sistematis dengan mengatur segala kewenangan organisasi sosial-politik
di kawasan kolonial sesuai dengan keperluan negara jajahan. Sistem itu
bertentangan dengan apa yang diharapkan dalam bentuk harmoni sosial.
Lebih dari itu kehadiran kolonialisme Belanda bukan hanya menghancurkan tata-niaga masyarakat pribumi, system ekonomi dan
politik tradisional, tetapi juga menghancurkan system idiologi negara
sebagai pemersatu bangsa, sehingga kesatuan rakyat di negara jajahan
bercerai berai, yang juga mengakibatkan terjadinya koflik dan peperangan
antar golongan dalam kebangkrutan politik tersebut. Demikianlah politik
adu domba yang dilancarkan Belanda menyebabkan terjadinya perselisihan
dan sengketa politik antar elite dan pewaris kesultanan yang tak jarang
melahirkan peperangan local.
Perpecahan
politik ini melengkapi kemunduran structural sosial masyarakat Banten.
Kekacauan politik yang juga diikuti oleh kemerosotan ekonomi, sekaligus
disertai dengan marginalisasi masyarakat. Sebagian penduduk kembali ke
daerah-daerah pelosok pedesaan dan di sinilah pendidikan agama Islam
dikembangkan dengan fasilitas yang seadanya dan dengan orientasi yang
teramat anti-kolonialisme.
Ketika tata kehidupan tradisional yang membentuk harmoni sosial masyarakat mengalami penghancuran, sebagian mereka membentuk
pandangan-pandangan baru dan tumbuhnya mitologi keagamaan yang kian
mengental dalam kehidupan masyarakat. Demikian ini sebagian besar yang
mayoritas petani kembali ke alam pikiran masa lalunya, semacam restorasi
tradisi, dengan mencari tulang punggung ketenangan dan ketenteraman
teologis yang pernah dirasakan sebelumnya.
Idiolegi
keagamaan semacam itu menimbulkan rasa kebencian yang dalam terhadap
kolonialisme. Sehingga sebagian dari elte agama membentuk fron
perlawanan terhadap penjajahan Belanda tanpa henti. Guru agama/kyai
tidak hanya mengambil jarak dengan pemerintah kolonial, tapi juga
menjadikan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan itu dinyatakan sebagai
jalan jihad melawan kolonialisme Belanda. Mereka memilih menjadi buronan
yang selalu diawasi dan dikejar-kejar oleh pemerintah. Karena itu
sering terjadi pemberontakan dan perlawanan walau banyak di antara para
tokoh dan pimpinan agama Islam di Banten yang tertangkap dan kemudian
dibuang ke negeri orang.
Juga tak sedikit para kyai/Guru Agama yang ‘uzlah meninggalkan keramaian kota
dan masuk ke pedalaman. Kelompok ini membuka lembaran baru dengan cara
bertani sambil mengajarkan ilmu agama Islam secara mandiri. Dengan demikian bahkan mereka tetap mempunyai akar yang kuat dan mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat.
Pada
zaman ini muncul kembali kepercayaan-kepercayaan tradisional sebagai
bentuk simbolisme harmoni hubungan manusia dengan lingkungan alamnya.
Masyarakat petani yang walaupun sudah memluk agama Islam, jika memulai
menuai padi, terlebih dahulu akan mengadakan upacara “mipit”. Upacara
ini adalah membuat sesajian untuk menyuguh Dewi Sri atau Sri Pohaci
yang dipercaya sebagai dewi padi yang berwenang untuk memberkahi padi. Suatu jangjawokan (mantera dalam bahasa Sunda) yang sudah menjadi aksioma adalah “mipit” amit ngala menta”. Artinya,
mengambil apa pun dari suatu tempat, berupa apa saja, harus izin
terlebih dahulu kepada roh halus yang menguasai tempat tersebut. Kalau
setelah melakukan sesuatu kemudian mendapat musibah, seperti sakit
kepala atau demam, atau tersandung apa saja, kemudian akan
dihubung-hubungkan dengan perbuatan yang dianggap sembrono
(sembarangan). Yaitu tidak minta izin kepada yang membahurekso (bahasa Jawa) atau nu ngageugeuh
(bahasa Sunda). Untuk itu kemu-dian masyarakat akan menanya kepada
orang yang dianggap tua dan mengerti tentang yang gaib, yang biasanya
berupa seorang dukun. Sang dukun kemudian akan memberikan petunjuk
tentang apa yang harus dilakukan sebagai langkah penebusanatas
kesalahannya.
Pada
upacara walimah (pernikahan/khitanan), sang pengantin pria/wanita
sebelum melaksaakan akad nikah atau pada saat si anak dikhitan, mereka
harus terlebih dahulu mengunjungi leluhurnya untuk memohon do’a
restunya, agar tidak terjadi sesuatu bencana aral melintang yang mungkin
mengganggu jalannya upacara tersebut.
Setiap
orang yang melewati tempat yang dianggap angker harus mengucapkan
mantera minta izin kanu ngageugeuh (yang membahurekso), yaitu roh halus
yang menmpati tempat itu. Misalnya saja dengan kalimat “ampun paralun
kanu luhung”, “sang karuhun anu ngageugeuh, danginang anu nga-wisesa,
ulah ganggu gunasita, kami incu buyut ki………..” (biasanya dengan
menyebutkan nama leluhurnya). Misalnya ki buyut Ance, ki buyut Sawi, ki Jaminun dan sebagainya.
Pengalaman-pengalaman budaya seperti itu merupakan
bentuk sumbolisme atas harapan adanya ketenangan dan ketentraman
kehidupan, yang pada saat itu tak pernah dirasakan karena kuatnya
tekanan koloni Belanda. Idiologi tradisionalisme itu juga merupakan
respon atas hancurnya idiologi politik dan agama yang mereka anut,
setalah kedudukan dan struktur sosial terganggu dan hancur.
Dalam
pada itu tingkat kejahatan merajalela Perampokan, pembunuhan,
perkelahian terjadi hampir setiap saat. Sedangkan usaha penanggulangan
oleh pemerintah Belanda hanya cukup dengan mendirikan rumah-rumah
penjara mulai dari kota besar sampai kota kecil. Rumah tahanan atau penjara di bangun di kota-kota kewadanaan seperti Menes, Labuan, Malingping, Balaraja, Mauk dan tempat-tempat lain yang sederajat. Akibatnya,
para bekas narapidana semakin mematangkan diri dalam melakukan aksi
kejahatannya, karena selama di dalam penjara, bukannya semakin baik dan
jera, tetapi semakin matang dan kian semakin menambah kualitasnya.
Walaupun
demikian, sebenarnya, kejahatan-kejahatan itu dilakukan hanya dengan
menggunakan senjata tajam tradisional seperti golok, pisau, dan
lain-lain. Hal itu ada kepercayaan atas benda-benda tajam itu yang dianggapnya mengandung kekuatan gaib.
Kondisi Pendidikan
Di
bawah kekuasaan Belanda rakyat Banten bukan bertambah baik, malah
semakin melarat dan terbelakang. Kondisi ini hampir dialmai oleh seluruh
rakyat di seluruh nusantara. Guna mengatasi permasalahan tersebut
pemerintah Belanda memberlakukan politik etis. Program politik etis yang
dijalankan oleh pemerintah Belanda, di antaranya membuat irigasi buat
mendudung pertanian rakyat dan menyelenggarakan sekolah bagi bumiputra.
Ternyata program tersebut gagal memberikan manfaat bagi penduduk desa. Hal ini terjadi, karena yang bisa menikmati sekolah itu hanya sebagian kecil rakyat saja terutama orang-orang yang berada di kota dan siap jadi calon ambtenar (pegawai Belanda).
Sedangkan di kalangan rakyat kebanyakan, tidak terjangkau oleh sistem pendidikan ini. Disamping
jumlah yang sangat sedikit (hanya di kota-kota kewadanaan saja yang
disediakan sekolah), juga syarat untuk dapat belajar sangat berat, dan
cen-derung sengaja dipersulit, dengan alasan bermacam-macam.
Tujuan
Belanda menyelenggarakan sekolah, seperti di-katakan di atas, adalah
untuk menyiapkan calon pekerja ambtenar yang jumlahnya tidak perlu
banyak. Sebagian besar rakyat bumi putra hanya
dibutuhkan sebagai pekerja kasar yang tidak memerlukan pengetahuan yang
tinggi, yang penting asal bertenaga kuat.
Pendidikan
Islam yang masih ada ialah pondok pesantren yang diselenggarakan oleh
para Kyai secara individual dan tradisional. Pendidikan ini penuh dengan
segala keterbatasannya, baik dalam hal sarana, dana, maupun
manajemennya. Ditambah pula dengan kondisi yang tidak aman dari berbagai pengawasan oleh pemerintah Belanda. Pihak
penjajah beranggapan bahwa kharisma keagamaan yang tersimpan dalam jiwa
para Kyai itu masih mengundang semangat anti kafir/ penjajah, yang bila
ada peluang pasti meletuskan api pembe-rontakan terhadap pemerintah
penjajah.
Berdirinya Madrasah Pertama
Keadaan
tersebut menggelisahkan masyarakat dan mematikan semangat umat dan pada
gilirannya akan menghilangkan ajaran Islam yang telah ditanamkan oleh
para pejuang terdahulu. Oleh karenanya
orang-orang yang baru saja pulang menunaikan ibadah haji atau mukim di
Mekkah yang lama menimba agama Islam, sudah tentu merupakan sesuatu yang
sangat menarik perhatian bagi masyarakat Banten.
Di
tengah hiruk pikuknya dan galaunya kemungkaran di dalam masyarakat yang
dilanda kemiskinan, kebodohan dan kejumudan yang diselimuti pula oleh
kabut kegelapan dan kebingungan muncullah seberkas sinar harapan yang
diharapkan akan membawa perubahan di hari kemudian.
Tersebutlah K.H.E. Moh. Yasin yang baru kembali dari menghadiri rapat yang diselenggarakan di Bogor oleh para ulama yang mendambakan kahidupan umat yang lebih baik. Gerakan ini dipelopori oleh Haji Samanhudi dalam rangka mendirikan Syarikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1908 M. Beliau mendatangi rekan-rekan ulama yang ada disekitar Menes, antara lain Kyai H. Tb. Moh. Sholeh dari kampung Kananga dan beberapa orang kyai lainnya. Tujuan
pertemuan tersebut adalah untuk bermusyawarah dan bertukar pikiran,
yang akhirnya melahirkan kata sepakat untuk membentuk suatu majelis
pengajian yang diasuh bersama. Pengajian ini juga
dijadikan lembaga muzakarah dan musyawarah dalam me-nanggulangi dan
memerangi situasi gelap itu ialah dengan harapan muncul seberkas sinar, yang kemudian menjadi nama MATHLA’UL ANWAR (bahasa Arab, yang artinya tempat lahirnya cahaya).
Militansi K.H. Entol Moh. Yasin dari Kaduhawuk, Menes ini tak pernah memudar dalam keinginan untuk memajukan umat melalui pendidikan. Beliau
menghendaki kemajuan umat hanya mungkin melalui pendidikan. Bukankah
Nabi Muhammad SAW bersabda : “Barang siapa yang menginginkan dunia
haruslah dengan ilmu, barangsiapa meng-inginkan akhirat haruslah dengan
ilmunya, dan barang siapa yang menginginkan keduanya haruslah dengan
ilmu”. Dan hadits yang lain : “Ilmu itu adalah cahaya”.
Beranjak
dari sini agaknya pertemuan, akhirnya melahirkan sebuah kata sepakat
untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang dikelola dan
diasuh secara jama’ah dengan mengkordinasikan berbagai disiplin ilmu,
terutama ilmu Islam yang dianggap merupakan kebutuhan yang mendesak.
Perjuangan mengangkat dan membangkitkan umat dari lembah kegelapan dan kemiskinan yang menimbulkan keterbelakangan, tidak cukup sekedar dengan mengadakan pengajian bagi generasi tua saja. Untuk itu dituntut langkah lebih lanjut lagi, yaitu lahirnya generasi berikutnya yang justru merupakan sasaran utama yang diharapkan mampu mengubah situasi (min al zhulumati ila al nur).
Berdirinya Mathla’ul Anwar
Guna
mencari pemecahan masalah tersebut, para kyai mengadakan musyawarah di
bawah pimpinan KH. Entol Mohamad Yasin dan KH. Tb. Mohamad Sholeh serta
para ulama yang ada di sekitar Menes, bertempat di kampung Kananga. Akhirnya,
setelah mendapatkan masukan dari para peserta, musyawarah mengambil
keputusan untuk memanggil pulang seorang pemuda yang sedang belajar di
Makkah al Mukarramah. Ia tengah menimba ilmu
Islam di tempat asal kelahiran agama Islam kepada seorang guru besar
yang juga berasal dari Banten, yaitu Syekh Mohammad Nawawi al Bantani.
Ulama
besar ini diakui oleh seluruh dunia Islam tentang kebesarannya sebagai
seorang fakih, dengan karya-karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu
Islam. Siapakah pemuda itu ? Dialah KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal, yang lahir pada tahun 1868, di kampung Janaka, Kecamatan Jiput, Kawedanaan Caringin, Kabupaten Pandeglang, Karesidenan Banten.
KH. Mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal kembali dari tanah suci sekitar tahun 1910 M. Dengan
kehadiran seorang muda yang penuh semangat untuk berjuang mengadakan
pembaharuan semangat Islam, bersama kyai-kyai sepuh, dapatlah diharapkan
untuk membawa umat Islam keluar dari alam gelap gulita ke jalan hidup
yang terang benderang, sesuai ayat al-Qur’an “Yukhriju hum min al dzulumati ila al nur”.
Pada
tanggal 10 bulan ramadhan 1334 H, bersamaan dengan tanggal 10 Juli 1916
M, para Kyai mengadakan suatu musyawarah untuk membuka sebuah perguruan
Islam dalam bentuk madrasah yang akan dimulai kegiatan belajar
mengajarnya pada tanggal 10 Syawwal 1334 H/9 Agustus 1916 M. Sebagai
Mudir atau direktur adalah KH. Mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal dan
Presiden Bistirnya KH.E. Moh Yasin dari kampung Kaduhawuk, Menes, serta
dibantu oleh sejumlah kyai dan tokoh masyarakat di sekitar Menes.
Selengkapnya para pendiri Mathla’ul Anwar :
· Kyai Moh. Tb. Soleh
· Kyai E.H. Moh Yasin
· Kyai Tegal
· Kyai H. Mas Abdurrahman
· K.H. Abdul Mu’ti
· K.H. Soleman Cibinglu
· K.H. Daud
· K.H. Rusydi
· E. Danawi
· K.H. Mustagfiri
Adapun tujuan didirikannya Mathla’ul Anwar ini adalah agar ajaran Islam menjadi dasar kehidupan bagi individu dan masyarakat. Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka disepakati untuk menghumpun
tenaga-tenaga pengajar agama Islam, mendirikan madrasah, memelihara
pondok pesantren dan menyelenggarakan tablig ke berbagai penjuru tanah
air yang pada saat itu masih dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda. Pemerintah kolonial telah membiarkan rakyat bumi putra hidup dalam kebodohan dan kemiskinan.
Program Pendidikan Mathla’ul Anwar
Untuk sementara, kegiatan belajar diselenggarakan di rumah seorang dermawan, di kota Menes. Beliau merelakan tempat tinggalnya digunakan untuk tempat belajar bagi umat. Tokoh ini adalah K.H. Mustagfiri.
Selanjutnya,
setelah mendapatkan sebidang tanah yang diwakafkan Ki Demang Entol
Djasudin, yang terletak di tepi jalan raya, dibangunlah sebuah gedung
madrasah dengan cara gotong-royong oleh seluruh masyarakat Islam Menes. Sampai kini gedung tersebut masih berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan Madrasah Ibtidaiyyah, Sekolah Dasar Islam dan Taman Kanak-kanak Mathla’ul Anwar. Gedung tersebut tidak lain ialah pusat perguruan Islam Mathla’ul Anwar yang terletak di kota Menes, Pandeglang.
Mengenai program pendidikan diselenggarakan program pendidikan 9 (sembilan) tahun. Yaitu mulai dari kelas A, B, I, II, III, IV, V, VI dan kelas VII. Belum ada pemisahan tingkat Ibti-daiyah dan tingkat Tsanawiyah. Disamping
pendidikan dengan sistem klasikal dalam bentuk madrasah, sebagai
langkah modernisasi; juga dibuka lembaga pendidikan dengan sistem
pesantren. Model ini tetap dihidup-suburkan, bahkan dikore-lasikan dengan sistem sekolah. Guru-guru
yang mengajar di madrasah pada pagi hari, pada sore dan malam harinya,
di rumah masing-masing, tetap menyelenggarakan pengajian dengan sistem
pesantren dan menampung santri yang datang dari berbagai daerah untuk
belajar di madrasah Mathla’ul Anwar.
Santriwan
dan santriwati yang telah menyelesaikan masa pendidikan selama 9
(sembilan) tahun, yaitu tamat kelas VII, dikirim ke berbagai
tempat/daerah untuk menda’wahkan ajaran Islam dalam bentuk baru, yaitu
mendirikan madrasah Mathla’ul Anwar cabang Menes, dengan diantar oleh
Pengurus Mathla’ul Anwar Menes. Mereka diberi
bisluit atau Surat Tugas mengajar dari Presiden of Bestur Mathla’ul
Anwar dengan semangat iman dan keyakinan terhadap janji Allah yang
berbunyi : In tanshuru Allah yanshuru kum. Artinya, jika engkau menolong agama Allah, pasti Allah akan menolongmu. Maka
tidaklah menghe-rankan jika pada tahun 1920-an sampai dengan tahun
1930-an, di Lampung, Lebak, \serang (Kepuh), Bogor, Tangerang, Karawang
dan tempat-temapat lain, sudah berdiri madrasah Mathla’ul Anwar cabang
Menes, hanya diizinkan menye-lenggarakan madrasah sampai kelas IV
(empat), sedangkan untuk kelas V, VI dan VII harus belajar di Menes.
Pada tahun 1929 didirikan madrasah putri Mathla’ul Anwar dengan tiga tokoh yang menjadi pimpinannya yaitu : Nyi. H. Jenab binti Yasin, Nyi Kulsum, dan Nyi Aisyah. Disamping
kegiatan belajar mengajar di madrasah dan pesantren bagi murid-murid,
juga setiap hari Kamis setiap pekan seluruh guru diwajibkan mengikuti
pengajian yang diselenggarakan di masjid Soreang, Menes. Di situ KH. Mas Abdurrahman menetap dan sekaligus sebagai pengajian pusat. Tujuannya adalah dalam rangka memperluas dan memperdalam ilmu Islam. Dengan
cara itu, akhirnya kyai-kyai pimpinan Mathla’ul Anwar dapat berfikir
dan berwawasan luas, tidak mengurung diri dalam satu pendapat seorang
ulama saja.
Untuk
membangun dan memelihara madrasah Mathla’ul Anwar, diusahakan dengan
cara gotong-royong, baik tenaga manusianya maupun dananya. Untuk itu dihimpun shadaqoh jariyah, wakaf dan jimpitan (beras remeh), yang diseleng-garakan oleh jama’ah Majlis Ta’lim ibu-ibu. Caranya,
setiap kali hendak masak nasi diambil satu sendok makan dari beras yang
akan dimasak dan ditampung dalam tempat tersendiri.
Selanjutnya,
beras dihimpun oleh petugas yang biasanya terdiri dari seorang janda
iskin dengan mendapat imbalan sepuluh persen dari hasil pungutannya. Para
janda miskin ini kemudian menyetor kepada para kader yang mengikuti
pengajian pada setiap hari Kamis yang menyerahkan lagi kepada kordinator
pusat Mathla’ul Anwar. Usaha yang tidak terasa namun nyata ini, akhirnya mampu menghimpun suatu kekuatan yang tidak kecil. Diantara
sekian tanda bukti yang tidak bisa dilipakan ialah adanya beberapa
bidang tanah yang dibeli dari hasil pungutan beras jimpitan (beras
remeh) dan hingga kini tempat itu dinamakan “Kebon remeh”, milik
Mathla’ul Anwar. Bukti ini, tidak boleh dilupakan oleh generasi selanjutnya.
Pada
tahun 1940 didirikan Madrasah Arabiah (Sekolah Arab) yang khusus
memberi pelajaran bahasa Arab, untuk itu didatangkan seorang guru dari
Salatiga yaitu KH. Humaedi disamping itu beberapa pemuda dikirim ke Jakarta (sekolah Jamiatul Khaer) untuk calon-calon guru. Dan
untuk mempela-jari ilmu Falak didatangkan guru dari Pekalongan (KH.
Syabrawi dan diadakan kursus ilmu falak bagi guru-guru Mathla’ul Anwar).
Untuk
mencetak para muballig diadakan kursus muballig yang dinamai cm. Yang
diikuti para santri-santri dan guru-guru serta pemuda-pemuda. Disamping
adanya kursus mubalig bagi murid-murid/pelajar madrasah mulai tingkat
rendah sampai tingkat atas, pada tiap-tiap kenaikan kelas Ichtifalan
diadakan pidato anak-anak sekolah untuk mendidik mereka pandai pidato
dan tablig.
Untuk
menampung para pelajar yang datang dari daerah-daerah, didirikan
pondok-pondok pesantren di sekitar Menes, antara lain di Kananga yang
paling besar yang dipimpin oleh KH. Tb. Ahmad, seorang alumni
pertamapendidikan di Mathla’ul Anwar. Para santri yang mondok di Kananga datang dari Bogor, Tangerang, Lampung dan lain-lain, sampai ratusan jumlahnya. Kananga
adalah satu kampung di kaki gunung pulosari merupakan tempat cikal
bakal Mathla’ul Anwar, sebab disitulah K. Tb. Moh. Sholeh tinggal dan
setibanya KH. Mas Abdurrahman dari Makkah tinggal di Kananga
dan menikah dengan putri dari KH. Tb. Moh. Sholeh, dan selanjutnya
pindah ke Soreang Menes, dan di Soreang inilah dibangun pesantren. KH. E. Muhamad Yasin adalah seorang ulama intelek yang berwawasan luas, dan ia seorang putra dari seorang jaksa.
Lahirnya Statuten Mathla’ul Anwar
Peristiwa
pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan Belanda pada tahun 1926 di
Menes dan Labuan, tanpa disadari oleh para tokoh dan pimpinannya, telah
membuat Mathla’ul Anwar bertambah besar dan meluas. Pemberontakan,
yang oleh pihak Belanda disebut sebagai pemberontakan Komunis,
menyebabkan para tokoh dan pimpinan Mathla’ul Anwar selalu dicurigai dan
diawasi oleh aparat pemerintahan, terutama pihak P.I.D (polisi rahasia
kolonial Belanda). Hal ini terjadi karena diantara pelaku pemberontakan terdapat tokoh dan orang-orang Mathla’ul Anwar. Meskipun
mereka tidak dalam kapasitasnya sebagai tokoh dan warga Mathla’ul
Anwar, tetapi dalam kedudukannya sebagai anggota Serikat Islam (?)
Sebagian dari mereka bahkan ada pula yang dibuang ke Boven Degul, Tanah
Merah, Irian antara lain : K. Abdulhadi Bangko, Khusen Cisaat dan
lain-lain.
Dengan adanya pengawasan dan kecurigaan yang amat ketat di Pandeglang, Khususnya di Menes dan Labuan, aktivitas para pimpinan Mathla’ul Anwar di daerah tersebut menjadi berkurang dan terpaksa harus berhati-hati sekali. Para
kyai dan ulama Mathla’ul Anwar kemudian bergerak menyebar-luaskan
Mathla’ul Anwar ke luar daerah, mengirimkan kader-kader dan para
abituren (lulusan) madrasah Mathla’ul Anwar Menes ke daerah-daerah di
luar Pandeglang. Diantaranya ke kabupaten Lebak, Serang, Tangerang, Bogor, Karawang dan di Keresidenan Lampung.
Pada tahun 1936 jumlah madrasah Mathla’ul Anwar sudah mencapai 40 buah yang tersebar di tujuh daerah tersebut di atas. Pada
waktu itu perhatian terhadap Mathla’ul Anwar tidak lagi terbatas dari
kalangan kaum pelajar (intelektual) pun mulai ikut berpartisipasi aktif. Karena
itu, dan sesuai pula perkembangan Mathla’ul Anwar, maka timbulah
gagasan-gagasan untuk meningkatkan kualitas perkembangan organisasinya,
baik yang bersifat teknis pedagogis, maupun adsministratif organisasi
dan keanggotaannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar