Pengetahuan ini saya coba ambil dari beberapa sumber yang mudah-mudahan bisa memberikan manfa'at buat pembaca khususnya mahasiswa/i UNMA.
Pada
pertengahan abad XIX, seiring makin banyaknya orang-orang nusantara dikenal
dengan orang Jawi- yang pergi ke Mekkah, jamaah haji dari Banten
menempati jumlah paling banyak. Orang-orang Banten yang bermukim di Mekkah juga
merupakan kelompok yang paling terkemuka di antara orang-orang Asia Tenggara
lainnya di antara mereka yang paling menonjol adalah Syekh Nawawi al-Bantani. Kuatnya
penduduk Banten terhadap ajaran Islam ini juga dikarenakan unsur-unsur yang
membentuk kebudayaan mereka hampir tidak terdapat unsur peradaban Hindu. Dalam
kenyataannya, pengaruh unsur Islam sangat menonjol, sehingga kadar sinkretisme
Islam tidak kelihatan dibandingkan daerah- daerah yang telah begitu kuat
pengaruh Hindu-Budha sebelumnya. Dapatlah dimaklumi bahwa agama Islam mempunyai
pengaruh yang mendalam dalam kehidupan penduduk daerah tersebut. Terjadinya
Revolusi Banten pada tahun 1888 dan 1926 juga tidak terlepas dari dorongan
semangat keagamaan. Gerakan-gerakan tersebut banyak melibatkan para ulama yang
merasa diganggu keberagamaannya oleh pemerintah kolonial. Tidak kurang dari 43
haji dan 90 guru agama yang terlibat dalam pemberontakan 1888 itu.16 Sementara
pada 1926, sekitar 27 haji dan 11 guru agama dari 99 tahanan yang dibuang ke
Boven Digul.17
Selain
karena tradisi menjalin hubungan dengan pusat ajaran Islam yang telah giat
dilakukan sejak masa-masa awal kesultanan Banten, kesadaran keagamaan yang kuat
terhadap ajaran Islam ini juga tentu tidak terlepas dari proses pendidikan yang
dilaksanakan oleh para penyebar Islam. Mereka secara intens menanamkan
ajaran-ajaran Islam kepada penduduk Banten hingga melahirkan orang-orang Banten
yang disebut oleh pemerintah kolonial sebagai fanatik, atau menurut lafal
Bantennya, orang panatik. Pendidikan tersebut dilaksanakan di
lembaga-lembaga seperti langgar, masjid, pesantren atau di rumah-rumah seorang
tokoh agama. Sedangkan lembaga pendidikan yang disebut madrasah tidak dikenal
hingga dekade pertama awal abad XX.
Pada
awal abad tersebut, pemerintah kolonial Belanda telah sepenuhnya menguasai
seluruh daerah yang disebut Hindia Belanda. Administrasi birokrasi yang
sebelumnya berada di tangan raja-raja lokal, kini telah terpusat pada
pemerintahan Hindia Belanda. Pada saat inilah, kolonial Belanda meluncurkan
Program Politik Etis-nya. Politik Etis ini kelak sangat menentukan kehidupan
sosial keagamaan penduduk Banten, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan
Islamnya. Melalui Politik Etis ini pemerintah mengharapkan terjadinya
masyarakat pribumi yang cepat dari pola statik, pola Asia, kepada suatu pola
Barat di bawah pengayoman Belanda. Namun di sisi lain, selain sasaran
transparan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di koloni,
pada saat yang sama orang-orang Belanda menyembunyikan kepentingan
terselubungnya. Meskipun kebijakan tersebut tidak secara terang-terangan
dimaksudkan untuk mempromosikan cita- cita Kristiani, namun fakta menunjukkan
bahwa korelasi keduanya sangat kuat. Berbagai subsidi terhadap sekolah dan
lembaga misi, kini mulai diberikan secara terang-terangan.
Pesantren
yang menjadi basis pendidikan agama masyarakat muslim tidak mendapatkan
perhatian sama sekali. Pemerintah berargumen bahwa hal itu dilakukan untuk
menjaga netralitas terhadap agama apapun sebagaimana secara formal tertuang
dalam konstitusi Belanda tahun 1855 dan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda
tahun 1871. Akan tetapi klaim tersebut tidak benar, karena pada saat yang sama
pemerintah membantu pembangunan sekolah teologi Kristen.
Di
Banten, pendidikan dengan sistem modern yang didirikan oleh kolonial baru
dibuka pada tahun 1910.25 Keterlambatan
pendirian ini mengakibatkan
jumlah anak-anak Banten yang masuk ke dalam sistem persekolahan ini adalah
jumlah yang paling rendah di seluruh Jawa. Penyebab lainnya adalah rasa enggan
yang mengidap di masyarakat Banten untuk memasukkan anak- anaknya ke lembaga
pendidikan tersebut. Dalam pandangannya, menyekolahkan anak-anaknya ke
sekolahan yang didirikan oleh kaum kafir itu adalah haram, atau setidaknya
tidak dianjurkan dalam Islam. Lebih dari itu, rasa kebencian yang sangat
mendalam karena banyak saudaranya yang dihukum gantung, dipenjara atau dibuang
setelah peristiwa heroik pada tahun 1888 itu. Sehingga apapun yang berkaitan
dengan kolonial, mereka menjadi sangat resisten terhadapnya. Kekhawatiran akan
dimurtadkan apabila anak-anaknya dimasukkan ke dalam persekolahan kolonial juga
ikut mempertebal rasa enggan tersebut.
Dengan
demikian, lembaga pendidikan Islamlah yang menjadi pilihan utama orang tua
dalam mendidik anak-anaknya pada saat itu. Namun di sisi lain, pendidikan Islam
sudah saatnya untuk menawarkan pola pendidikan yang lebih maju, baik dalam hal
kelembagaan, struktur materi, maupun metodenya, sehingga dapat mengimbangi
sekolah-sekolah ala Belanda. Oleh karena itu, tulisan ini akan coba menelusuri
perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam yang berkembang di masa
awal abad XX. Pertanyaan yang akan dicari jawabannya dalam tulisan ini adalah,
sejak kapan gerakan pembaharuan pendidikan Islam berlangsung di daerah Banten
dan dengan cara bagaimana proses pembaharuan pendidikan Islam dilaksanakan?
Pertanyaan-pertanyaan historis di atas tentu saja didasarkan pada sebuah fakta
bahwa, sama seperti di daerah lainnya di Indonesia, Banten menjadi salah satu
tempat terjadinya gerakan pembaharuan pendidikan Islam, hanya saja mungkin
dengan cara yang agak berbeda dengan yang terjadi di tempat lain dan waktu
dimulainya gerakan pembaharuan tersebut.
Latar
belakang pembaharuan pendidikan Islam di Banten tidak jauh berbeda dengan di
tempat-tempat lain di Indonesa. Kendati demikian, Banten memiliki keunikan
tersendiri dibandingkan di tempat-tempat lain di Indonesia. Sebagaimana William
katakan, Banten yang telah memiliki akar tradisi ketaatan kepada ajaran Islam
yang sangat panjang itu, merasa kesulitan untuk menerima ide-ide modernisme.
Karena menurut pandangannya, mendukung ide-ide tersebut sama dengan
mengakomodasi Belanda yang sedang mereka benci. Ketika angin pembaharuan
menerpa hampir di seluruh daerah di nusantara pada awal-awal abad itu, Banten
baru menerimanya pada tahun-tahun 1920-an.55
Steenbrink
menggambarkan bahwa awal abad XX, telah terjadi apa yang disebut sebagai
kebangkitan, pembaharuan (renaissance) atau bahkan pencerahan. Bagi
tokoh-tokoh pembaharu, pendidikan kiranya senantiasa sebagai aspek yang
strategis untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Dari
pandangan seperti inilah terwujud lembaga pendidikan Islam baru yang dinamakan
madrasah. Di samping itu, kenyataan makin merakyat sekolah-sekolah sekuler
kolonial Belanda dan sikap diskriminatif dari pemerintah terhadap rakyat
pribumi, juga ikut mendorong lahirnya lembaga pendidikan madrasah ini.58
Sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan kebijakan penting yang menentukan masa depan pendidikan di
nusantara ini. Kebijakan tersebut adalah Politik Etis (Etische Politiek).
Inti
dari kebijakan ini adalah emansipasi bangsa Indonesia secara berangsur-angsur.
Dari sinilah kemudian lembagalembaga pendidikan dengan sistem Barat
diperkenalkan sampai ke lapisan golongan bawah, yang sebelumnya hanya dinikmati
secara eksklusif dari kelompok-kelompok terpilih menurut ukuran Belanda.
Berdasarkan kenyataan ini umat Islam meresponnya dengan melakukan sintesa
antara lembaga pendidikan pesantren dengan persekolahan Belanda sehingga
melahirkan bentuk lembaga pendidikan Islam madrasah. Tambahan pula, kelahiran
madrasah tersebut dimaksudkan untuk menjawab tantangan kolonialisme dan
ekspansi Kristen.62 Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering
dipersepsikan sebagai pemerintahan Kristen. Sekolah-sekolah Kristen yang
umumnya diberi subsidi oleh pemerintah kolonial, sering mewajibkan pendidikan
agama Kristen bagi murid-murid Islam. Sekolah negeri juga sering dimanfaatkan
untuk kepentingan.
Harus diakui bahwa kiprah Mathla'ul Anwar sebagai sebuah
gerakan Islam yang dikenal berorientasi pembaruan yang lahir pada tahun 1916
Masehi patut diapresiasi atas jasa dan kontribusinya bagi masyarakat dan bangsa
Indonesia di berbagai bidang kehidupan masyarakat seperti bidang dakwah,
sosial, pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya.Mathla'ul Anwar merupakan
lembaga pendidikan klasikal pertama di Banten yang didirikan pada tahun 1334
H/1916 M di Menes, Pandeglang, Banten, dengan dasar Islam. Sementara tujuan
didirikan Mathla'ul Anwar adalah terwujudnya pendidikan dan ajaran Islam di
kalangan umat dan masyarakat Islam. Adapun tujuan didirikannya Mathla'ul Anwar
ini adalah agar ajaran Islam menjadi dasar kehidupan bagi individu dan
masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka disepakati untuk
menghimpun tenaga-tenaga pengajar agama Islam, mendirikan madrasah, memelihara
pondok pesantren dan menyelenggarakan tablig ke berbagai penjuru tanah air yang
pada saat itu masih dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda. Pemerintah
kolonial telah membiarkan rakyat bumi putra hidup dalam kebodohan dan
kemiskinan.
Mathla'ul Anwar adalah sebuah organisasi masyarakat yang
berorientasi pada pendidikan dan dakwah. Berdiri pada 10 Ramadhan 1334H/10 Juli
1916 di Kampung Kananga, Menes, Didirikan oleh KH Mas Abdurrahman bin KH Mas
Jamal bersama beberapa kiyai lainnya, antara lain: KH Tubagus Muhammad Sholeh,
KH Entol Muhammad Yasin, Kiai Tegal, KH Abdul Mu'thi, Kiyai Soleman Cibinglu,
KH Daud, Kiai Rusydi, Kiya Entol Danawi, dan KH Mustaghfiri. Ialah KH Raden Mas Abdurahman Saleh Abdurahman Jamal,
salah seorang ulama yang berjasa dalam dunia pendidikan di Banten dan
Indonesia. Dia tokoh muda, sepulang dari Mekkah mendirikan Mathla'ul Anwar
bersama kiai sepuh lainnya. Lahir
tahun 1882 di Kampung Janaka (Gunung Aseupan), Kecamatan Jiput, Kabupaten
Pandeglang dan wafat 1943. (Muhammad Idjen, penulis buku berjudul KH Mas
Abdurrahman Ulama Besar Kharismatik Dari Tutugan Gunung Aseupan). Sumber lain
menyebut, ulama ini lahir sekitar tahun 1875 dan wafat 16 Agustus 1944 dan
dimakamkan di Cikaliung Sodong, Kecamatan Saketi, Pandeglang atau sekitar
lokasi Universitas Mathlaul Anwar (UNMA). (M Nahid Abdurahman, penulis buku
berjudul KH Abdurrahman Pendiri Mathlaul Anwar). Sementara menurut buku
'Dirosah Islamiyah I Sejarah dan Khittah MA' yang diterbitkan Pengurus Besar
Mathla'ul Anwar, disebutkan dia lahir tahun 1868 dan wafat tahun 1943.
Mathla'ul Anwar saat ini telah menjelma menjadi salah satu kekuatan civil
society yang sangat diperhitungkan sebagai katalisator seluruh agenda
pembangunan bangsa. Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, selain
Nahdatul ulama (NU) dan Muhammadiyah. Mathla'ul Anwar sejatinya tetap menjaga
netralitasnya dalam menyikapi berbagai persoalan terkait dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara, tak terkecuali dalam konteks politik.
[1] Menurut angka statistik 1887, di Banten terdapat
4073 haji, 0,72 dari jumlah penduduk yakni 561.003. Ini merupakan persentase
tertinggi untuk seluruh Jawa. Lihat, Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt,
h. 152, edisi bahasa Indonesia, h. 247.
[2] Christiaan Snouck Hurgronje, “Ulama Jawa yang
Ada di Mekah pada Akhir Abad XIX” dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique dan
Yasmin Hussain, Islam Asia Tenggara, terj. A. Setiawan Abadi
(Jakarta: LP3ES, 1989), h. 150, Ulama-ulama Banten yang terdapat di Mekkah pada
akhir abad XIX, terdapat pada h. 156-160; Laffan, Islamic Nationhood, h.
63-64; dan Alex Soesilo Wijoyo, “Syaikh Nawawi of Banten: Texts, Authority, and
the Gloss” Disertasi, Unpublished (New York: Columbia
University, 1997), h. 13.
[3] Kajian yang mendalam terhadap ulama yang sangat
terkenal ini dan karya-karya yang dihasilkan selama hidupnya, lihat Wijoyo,
Syaikh Nawawi of Banten; Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz:
Biografi Syaikh Nawawi al- Bantani (Yogyakarta: LKiS, 2009); dan
Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 117-127
[4] Lihat, Muhaimin AG., Islam dalam Bingkai
Budaya Lokal: Potret dari Cirebon,cet. ke-2 (Jakarta: Logos, 2002), h. x.
Lihat juga, Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern:
Pengalaman Indonesia” dalam Mark R. Woodward (Ed.), Jalan Baru Islam:
Memetakan Paradigma Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
[5] Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah:
Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950 (Yogyakarta:
MATABANGSA, 2001), h. 49
[6] Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari
Terbit, terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1980), h.
53.
[8] Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons
Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung:
Mizan, 1998), h. 43-44
[9] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah,
Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, cet. ke-2 (Jakarta:
LP3ES, 1994), h. 8-9.
[10] Soemarsono Mestoko, Pendidikan di Indonesia
dari Jaman ke Jaman (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 80-81
[11] Pada tahun 1916, empat HIS di Banten masing-masing
memiliki murid sebagai berikut: Serang, 189 laki-laki dan 46 perempuan;
Cilegon, 91 laki-laki dan 29 perempuan; Pandeglang, 147 laki-laki dan 23
perempuan; dan Rangkasbitung, 136 laki-laki dan 40 perempuan. Lihat, Williams, Communism, h.
106, catatan kaki no. 3. Sebagai bahan perbandingan, di seluruh Hindia Belanda
jumlah siswa HIS ini mencapai 22.734 siswa pada tahun 1915. Lihat, Wardiman
Djojonegoro, Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia (Jakarta:
Depdikbud, 1996), h. 64.
[12] Rahayu Permana, “Kyai Haji Syam’un (1883-1949):
Gagasan dan Perjuangannya”Tesis (Depok: PPs Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI, 2004), h. 29.
[14] Istilah “madrasah” berasal dari bahasa Arab yang
artinya tempat belajar. Lihat, Ibrahim Anis dkk., Al-Mu’jam al-Wasi’t (Kairo:
Dar al-Ma‟arif, 1972), h. 280.
[16] Eko Supriatno Dosen FISIP Universitas Mathla'ul Anwar Banten. Ketua
ICMI Orsat Labuan dalam tulisannya Kabar Banten.com. Mathlaul Anwar dan Godaan politik. Edisi 29
Sep 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar