Senin, 12 Desember 2016

PENDIDIK MENURUT AL-QUR'AN DAN AL-HADIST

Bismillahirahmanirrahim
Mata kuliah yang paling umum diPendidikan Agama Islam untuk Pedidikan adalah Perspektif Pendidikan dalam Al-Qur'an dan AL- Hadist.
BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG

Pendidik (guru) merupakan salah satu aspek yang terpenting dalam pendidikan. Guru sebagai pendidik merupakan suatu amanah yang sangat berat untuk dilaksanakan. Dikatakan berat, karena guru harus bisa membimbing dan mengarahkan peserta didiknya ke arah yang positif dan lebih baik, dari semua aspek yang ada pada peserta didik baik dari segi kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Seorang guru bisa mengemban amanah sebagai pendidik dengan baik, apabila ia mengerti akan berbagai teori yang menyangkut dirinya yang bertugas sebagai guru. Dalam kaitannya dengan masalah ini, akan dibahas dalam makalah ini berbagai asumsi yang diambil dari sumber utama agama Islam yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam kedua sumber tersebut terdapat banyak sekali literatur-literatur yang membahas tentang pendidik.
Makalah ini akan membahas tentang berbagai teori tentang pendidik (guru).Diantaranya, akan membahas tentang Sifat guru, hakikat dan tugas guru, serta kompetensi Guru.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits?
2.    Apa Hakikat dan tugas seorang guru dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits?
3.    Apa Kompetensi yang harus dimiliki seorang guru dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits?



BAB II
PEMBAHASAN
A.  PENGERTIAN PENDIDIK (GURU)
Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggung jawab adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Pada awalnya tugas pendidik adalah murni tugas kedua orang tua, namun pada perkembangan zaman yang telah maju seperti sekarang ini banyak tugas orang tua sebagai pendidik yang diserahkan ke sekolah, karena lebih efisien dan lebih efektif.[1]
Nur Uhbiyati memberikan definisi tentang pendidik; adalah orang dewasa yang bertanggungjawab member bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di permukaan bumi, sebagai makhluk sosial sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.[2] 
B.  HAKIKAT DAN TUGAS GURU
Fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat yang memandang bahwa tugas guru hanya seorang pengajar (pentransfer ilmu) di lingkungan pendidikan perlu untuk dirubah. Karena sejatinya seorang guru bukan hanya sebagai pengajar untuk mencerdaskan pola pemikiran anak didik yang dari tidak menjadi tahu. Akan tetapi penting untuk dijelaskan tugas seorang guru yang sebenarnya dari aspek Al-Qur’an dan hadits.
Tugas seorang guru yang pertama dan terpenting adalah pengajar (murabbiy, mu’allim). Firman Allah dalam surat Ar-Rahman ayat 2 - 4.
عَلَّمَ الْقُرْآَنَ (2) خَلَقَ الْإِنْسَانَ (3) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (4)
Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.[3]
Kata al-bayan berasal dari bana yabinu bayanan yang berarti nyata, terang dan jelas. Dengan al-bayan dapat terungkap apa yang belum jelas. Pengajaran al-bayan oleh Allah tidak hanya terbatas pada ucapan, tetapi mencakup segala bentuk ekspresi, termasuk seni dan raut muka. Menurut al-biqa’I, kata al-bayan adalah potensi berpikir, yakni mengetahui persoalan kulli dan juz’I, menilai yang tampak dan yang ghaib serta menganalogikannya dengan yang tampak. Kadang-kadang al-bayan berarti tanda-tanda, bisa juga berarti perhitungan atau ramalan. Itu semua disertai potensi untuk menguraikan sesuatu yang tersembunyi dalam benak serta menjelaskan dan mengajarkannya kepada pihak lain. Sekali dengan kata-kata, kemudian dengan perbuatan, dengan ucapan, tulisan, isyarat dan lain-lain.[4]
Pada ayat ini Allah yang maha pengasih dan penyayang menyatakan bahwa Dia telah mengajarkan Al-qur’an kepada Muhammad SAW yang selanjutnya diajarkan kepada umatnya. Ayat ini turun sebagai bantahan bagi penduduk makkah yang mengatakan:
إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ
"Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)".[5] (An-nahl: 103).
Dalam ayat 4 dinyatakan bahwa Allah mengajar manusia pandai berbicara. Berbicara tentu dengan menggunakan lidah, karena lidah selain sebagai alat perasa juga menjadi alat yang berfungsi sebagai media untuk berkomunikasi. Lidah dalam agama hampir selalu dikaitkan dengan hati dan digunakan untuk mengukur baik buruknya prilaku seseorang. Manusia akan menjadi baik, apabila keduanya baik, sebaliknya manusia akan menjadi buruk apabila keduanya buruk. Nabi Muhammad SAW menunjuk lidah sebagai faktor utama yang membawa bencana bagi manusia, dan ia merupakan tolak ukur untuk bagian tubuh lainnya.[6] Beliau bersabda dalam haditsnya:
حدثنا محمد بن موسى البصري حدثنا حماد بن أبي زيد عن ابي الصهباء عن سعيد بن جبير عن أبي سعيد الخدري رفعه قال : إذا أصبح ابن آدم فإن الأعضاء كلها تكفر اللسان فتقول اتق الله فينا فإنما نحن بك فإن استقمت استقمنا وإن اعوججت اعوججنا
Jika manusia bangun di pagi hari, maka seluruh anggota tubuhnya mengingatkan lidah dan berpesan, “bertakwalah kepada Allah menyangkut kami, karena kami tidak lain kecuali denganmu. Jika engkau lurus, kami pun lurus, dan jika engkau bengkok kami pun bengkok. (Riwayat at-Tirmidzi dari Abu sa’id al khudri).
Hadits Rasulullah SAW juga membahas tentang pendidik, yakni hadits yangdiriwayatkan oleh Imam Ad- Darami;
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زِيَادِ بْنِ أَنْعُمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ رَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ بِمَجْلِسَيْنِ فِى مَسْجِدِهِ فَقَالَ :« كِلاَهُمَا عَلَى خَيْرٍ وَأَحَدُهُمَا أَفْضَلُ مِنْ صَاحِبِهِ ، أَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَدْعُونَ اللَّهَ وَيُرَغِّبُونَ إِلَيْهِ فَإِنْ شَاءَ أَعْطَاهُمْ وَإِنْ شَاءَ مَنَعَهُمْ ، وَأَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَتَعَلَّمُونَ الْفِقْهَ وَالْعِلْمَ وَيُعَلِّمُونَ الْجَاهِلَ فَهُمْ أَفْضَلُ ، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّماً » قَالَ : ثُمَّ جَلَسَ فِيهِمْ.- الدارمي
Menceritakan kepada kami ‘abdullah bin yazid, menceritakan kepada kami ‘abdur Rahman bi ziyad bin an’um bin abdur Rahman bin Rafi’ dari Abdullah bin ‘amr: Sesungguhnya rasulullah SAW melewati dua majlis di masjidnya, lalu Rasulullah berkata; keduanya itu baik dan sala ssatu keduanya itu lebih utama dari sahabatnya. Adapun mereka berdo’a kepada allah dan menyenangkan kepadaNya. Maka jika Allah berkehendak mereka akan diberi. Dan jika Allah berkendak mereka akan dicegah. Adapun mereka ada yang belajar ilmu fiqh dan mereka mengajarkan kepada orang yang bodoh. Maka mereka itulah yang lebih utama. Dan sesungguhnya aku di utus sebagai pengajar (pendidik). Abdullah bin ‘amr berkata: kemudian rasulullah duduk bersama mereka.            
Hadits diatas menjadi penjelas bagi seluruh umat manusia, bahwa setelah Rasulullahdiajarkan kepadanya Al-Qur’an lalu Rasulullah mengatakan dalam haditsnya yang mengisyaratkan bahwa beliau diutus adalah sebagai pendidik.
Seorang pendidik akan senantiasa menyampaikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk bisa diserap oleh muridnya sehingga nantinya ilmu pengetahuan tersebut akan semakin dikembangkan oleh peserta didik. Hadits Rasulullah SAW menyatakan;
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً – الترمذي
Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat.
Tugas guru yang kedua adalah sebagai pembimbing atau penyuluh. Hal ini digambarkan dalam firman Allah surat An-nahl ayat 43;
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43)
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.[7]
Ayat ini kembali menguraikan kesesatan pandangan mereka menyangkut kerasulan Nabi Muhammad SAW. Dalam penolakan itu, mereka selalu berkata bahwa manusia tidak wajar menjadi utusan Allah, atau paling tidak dia harus disertai oleh malaikat. Ayat ini menegaskan bahwa: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kepada umat manusia kapan dan dimanapun, kecuali orang-orang lelaki, yakni jenis manusia pilihan, bukan malaikat yang Kami beri wahyu kepada mereka; antara lain melalui Jibril; Maka wahai orang-orang yang ragu atau tidak tahu bertanyalah kepada Ahli Dzikr, yakni orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Thaba>thaba>’i salah seorang ulama’ dari aliran syi’ah berpendapat bahwa ayat ini menginformasikan bahwa dakwah keagamaan dan risalah kenabian adalah dakwah yang disampaikan oleh manusia biasa yang mendapat wahyu dan bertugas mengajak manusia menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.[8] Simpulan dari ayat ini mengenai tugas seorang guru adalah guru sebagai penyuluh yang selalu memberikan peringatan dan pembimbing bagi semuanya demi mendakwahkan amar ma’ruf nahi munkar. Selanjutnya dilanjutkan dengan ayat 44 yang berbunyi;
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44)
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.[9]
Para Rasul yang kami utus sebelummu itu semua membawa keterangan-keterangan, yakni mukjizat-mukjizat nyata yang membuktikan kebenaran mereka sebagai Rasul, dansebagian membawa pula zubur, yakni kitab-kitab yang mengandung ketetapan-ketetapan hokum dan nasihat-nasihat yang seharusnya menyentuh hati, dan kami turunkan kepadamu ad-Dzikr, yakni Al-Qur’an, agar engkau menerangkan kepada seluruh umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, yakni Al-Qur’an itu, mudah-mudahan dengan penjelasanmu mereka mengetahui dan sadar dan supaya mereka senantiasa berpikirlalu menarik pelajaran untuk kemaslahatan hidup duniawi dan ukhrawi mereka.[10]
Ayat ini mengisyaratkan dan menegaskan lagi akan tugas seorang guru (pendidik) agar senantiasa tidak henti-hentinya untuk mengamalkan segala ilmu yang telah didapatkannya serta mentransfer segala pengetahuan yang ada kepada semua peserta didik khususnya, dan umumnya kepada seluruh umat elemen masyarakat.
Tugas ketiga seorang guru adalah sebagai penjaga. Firman Allah SWT dalam surat At-Tahrim ayat 6;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (6)     
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Ayat ini memberikan tuntunan kepada kaum beriman bahwa: hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kamu antara lain dengan meneladani Nabi dan pelihara juga keluarga kamu yakni istri, anak-anak dan seluruh yang berada dibawah tanggung jawab kamu dengan membimbing dan mendidik mereka agar kamu semua terhindar dari batu-batu antara lain yang dijadikan berhala-berhala. Diatasnya yakni yang menangani nerakan itu dan bertugas menyiksa penghuni-penghuninya adalah malaikat-malaikat yang kasar-kasar hati dan perlakuannya, yang keras-keras perlakuannya dalam melaksanakan tugas penyiksaan, yang tidak mendurhakai Allah menyangkut apa yang Dia perintahkan kepada mereka sehingga siksa mereka jatuhkan-kendati mereka kasar-tidak kurang dan tidak juga terlebih dari apa yang diperintahkan Allah, yakni sesuai dengan dosa dan kesalahan masing-masing penghuni neraka dan mereka juga senantiasa dan dari saat ke saat mengerjakan dengan mudah apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.[11]
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke-6 ini turun, ‘umar berkata, “ Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami? Rasulullah SAW menjawab, “ larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkan mereka melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadamu. [12]
Ayat diatas menjelaskan untuk memelihara diri sendiri dan keluarga dari api neraka. Ayat ini dimaksudkan bagi pendidik atau seorang guru haruslah bisa menata diri sebagai bentuk dari contoh kepribadiannya yang baik, dan nantinya akan ditularkan kepada keluarga dan masyarakat luas. Oleh karena itu, seorang guru harus bisa melindungi dan mengarahkan dirinya, keluarga, serta orang lain agar nanti bisa selamat dunia akhirat dan bebas dari siksa neraka.
Tugas keempat adalah guru sebagai pendidik dan penanggung jawab moral anak didiknya.
حدثنا العباس بن الوليد الدمشقي . حدثنا علي بن عياش . حدثنا سعيد بن عمارة . أخبرني الحارث بن النعمان . سمعت أنس بن مالك يحدث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم  : قال ( أكرموا أولادكم وأحسنوا أدبهم )- ابن ماجه
Menceritakan kepada al- ‘abbas bin al-walid al-damasyqiy. Menceritakan kepada kami ‘ali bin ‘iyasy. Menceritakan kepada kami sa’id bin ‘umarah. Menceritakan kepadaku al-harits bin an-nu’man. Aku mendengar Anas bin Malik berkata dari Rasulullah SAW berkata: Mulyakanlah anak-anakmu dan baguskanlah budi pekerti mereka.
Dalam hadits diatas mengingatkan kepada seorang pendidik agar senantiasa untuk memulyakan anaknya. Mulya disini bisa diperluas maknanya dengan bersifat baik, adil, jujur dan bijaksana kepada anak didiknya. Dan tugas kedua yang dicerminkan dalam hadits ini adalah untuk mengajarkan akhlak yang baik. Pendidik diharuskan untuk memiliki kepribadian yang baik, agar anak didiknya akan mencontoh sifatnya dan tugas ini juga sangat sesuai dengan hadits Rasulullah yang artinya;
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (tingkah laku).
Tingkah laku juga menjadi cerminan atau tolak ukur bagi manusia. Karena manusia yang sempurna adalah manusia yang ta’at kepada Allah dalam beribadah (hablu minallah) dan juga bisa berbuat baik kepada sesame makhluk ciptaan Allah yang ada disekitarnya. Sehingga pembentukan akhlak yang baik harus diprioritaskan, untuk membangun dan menjadikan manusia yang sempurna (insan kamil).
Selanjutnya tugas guru kelima adalah sebagai penuntun dan pemberi pengarahan. Hal itu, dikisahkan oleh Allah dalam firmannya Surat Al-Kahfi ayat 66-70.
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66) قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (67) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (68) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا (69) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا (70)
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".[13]
Dalam pertemuan kedua tokoh itu musa berkata kepadanya, yakni kepada hamba Allah yang memperoleh ilmu khusus itu, “ Bolehkah aku mengikutimu secara bersungguh-sungguh supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari apa, yakni ilmu-ilmu yang telah di ajarkan Allah kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku menuju kebenaran?”, Dia menjawab, “Sesungguhnya engkau hai musa sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Yakni peristiwa-peristiwa yang engkau akan alami bersamaku, akan membuatmu tidak sabar. Dan, yakni padahal bagaimana engkau dapat sabar atas sesuatu, yang engkau belum jangkau secara menyeluruh hakikat beritanya?” Engkau tidak memiliki pengetahuan bathiniah yang cukup tentang apa yang akan engkau lihat dan alami bersamaku itu.[14]
Ucapan hamba Allah ini, memberi isyarat bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anaknya menuntun anak didiknya dan memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang pendidik mengetahui bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya.[15]
Mendengar komentar sebagaimana terbaca pada ayat yang lalu dia, Nabi Musa AS tertata kepada hamba yang shaleh itu ”engkau Insya’ Allah akan mendapati aku sebagai seorang penyabar yang insya’ Allah mampu menghadapi ujian dan cobaan, dan akau tidak akan menentangmu dalam sesuatu perintah yang engkau perintahkan atau urusan apapun”. “Dia berkata, jika engkau mengikutiku secara bersungguh-sungguh, ,maka seandainya engkau melihat hal-hal yang tidak sejalan dengan pendapatmu atau bertentangan dengan apa yang engkau ajarkan, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, yang aku kerjakan atau ku ucapakan sampai bila tiba waktunya nanti aku sendiri menerangkannya kepadamu”. Demikian hamba yang shaleh itu menetapkan syarat ke ikut sertaaan Nabi Musa AS.
Ucapan Isya’ Allah itu disamping merupakan adab yang di ajarkan semua agama dalam menghadapi sesuatu di masa depan, ia juga mengandung makna permohonan kiranya memperoleh bantuan Allah SWT dalam menghadapi sesuatu. Apalagi dalam belajar, khususnya dalam mempelajari dan mengamalkan hal-hal yang bersifat batiniah/tasawuf. Ini lebih penting lagi bagi seseorang yang telah memiliki pengetahuan, karena boleh jadi pengetahuan, karena boleh jadi pengetahuan yang dimilikinya tidak sejalan dengan sikap atau apa yang di ajarkan sang guru.[16]
Kisah ini antara Nabi Musa dan Khidir bisa menjadi pedoman dalam adab dan sopan santun seorang murid terhadap gurunya dan semangat untuk mencari ilmu.[17] Selanjutnya beberapa ayat ini juga mengsiyaratkan bahwa seorang guru harus bisa menghormati muridnya dengan berbaik hati. Selain itu, seorang guru harus bersikap bijaksana dengan memberikan kesimpulan atas pengajaran yang diberikan kepada muridnya, sehingga anak didiknya akan mengetahui maksud materi pengajaran.
Mengenai tugas guru ahmad tafsir ahli menjelaskan bahwa ahli pendidikan Islam, ahli pendidikan barat bahwa tugas guru ialah mendidik. Mendidik adalah tugas yang amat luas. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain.[18].                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       
C.  SIFAT GURU
            Sifat guru yang tergambar dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Daramiy adalah menerangkan untuk takut kepada Allah, tidak sombong, dzikir, serta memohon ampun kepada Allah.
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ مُسْلِمٍ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ : كَفَى بِالْمَرْءِ عِلْماً أَنْ يَخْشَى اللَّهَ ، وَكَفَى بِالْمَرْءِ جَهْلاً أَنْ يُعْجَبَ بِعِلْمِهِ. قَالَ وَقَالَ مَسْرُوقٌ : الْمَرْءُ حَقِيقٌ أَنْ تَكُونَ لَهُ مَجَالِسُ يَخْلُو فِيهَا فَيَذْكُرُ ذُنُوبَهُ فَيَسْتَغْفِرُ اللَّهَ- الدارمي
“Menceritakan kepada kami ahmad bin ‘abdullah, menceritakan kepada kami zaidah  dari al- a’masy dari muslim dari masruq berkata: Cukup bagi seseorang yang berilmu untuk takut kepada Allah. Dan cukup bagi seorang yang bodoh untuk membanggakan ilmunya. Muslim Berkata, dan masruq berkata: seseorang yang benar adalah apabila dia dalam majlis yang kosong didalamnya, maka ia akan mengingat dosanya dan memohon ampun kepada Allah”.
Hadits diatas memberikan gambaran, bahwa seorang guru harus mempunyai sifattakut, yang bisa diperluas dengan menggunakan kata taqwa. Taqwa disini dimaksudkan agar guru senantiasa merasa takut untuk berbuat yang dilarang, agar anak didiknya tidak meniru apa yang dilakukan oleh gurunya. Hal semacam ini yang penting untuk diterapkan oleh guru. Karena tugas seorang guru bukan hanya mengajar atau mentransfer ilmu. Akan tetapi sangat jauh dari pada itu, seorang guru adalah pendidik dari semua aspek yang ada pada manusia baik dari sisi kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Selain takut kepada Allah, hadits diatas juga melarang untuk menyombongkan diri dengan ilmu, dan senantiasa mengingat dosa atau kesalahannya lalu meminta ampun kepada Allah SWT. Matan hadits diatas hendaknya dilaksanakan dengan baik dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik.         
Selanjutnya sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru sebagai pendidik, banyak dibahas dalam Alqur’an, diantaranya dalam Surat Ar-rahman ayat 1.
الرَّحْمَنُ (1)
(tuhan) yang Maha pemurah.[19]
Ayat diatas menggambarkan akan sifat guru yang harus memiliki rasa kasih sayang. Hal ini dimaksudkan agar guru senantiasa memberikan limpahan perasaan yang mendalam kepada seluruh anak didiknya dengan kasih sayang agar kegiatan belajar berjalan dengan khidmat dan tentunya dapat membuat anak didik merasa nyaman ketika belajar serta KBM (kegiatan belajar mengajar) akan membuahkan hasil yang baik sesuai dengan keinginan.
Kepribadian yang baik seorang guru akan baik, akan senantiasa memperlancar kegiatan belajar, dan dengan pribadi baik pula akan menghasilkan pendidikan yang di inginkan. Dalam Al-qur’an juga banyak membahas tentang berbagai sifat yang baik, yang secara eksplisit harus dimiliki oleh seorang guru. Dalam surat An-najm ayat 5 menjelaskan tentang sifat kuat.
عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى (5)
Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.[20]
Dalam ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW di ajari oleh jibril. Jibril itu sangat kuat, baik ilmunya maupun amalnya. Dalam firman Allah SWT dijelaskan dalam surat At-Takwir: 19-21:
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (19) ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ (20) مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ (21)
Sesungguhnya Al Qur'aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan Tinggi di sisi Allah yang mempunyai 'Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya.[21]
Kemudian Nabi Muhammad SAW mempelajarinya dan mengamalkannya. Ayat ini merupakan jawaban dari perkataan mereka yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW itu hanyalah tukang dongeng yang mendongengkan dongeng-dongeng (legenda-legenda) orang-orang dahulu. Dari sini jelas bahwa Rasulullah SAW itu bukan di ajari seorang manusia akan tetapi di ajari oleh malaikat jibril yang sangat kuat.[22]
Yang dimaksud syadidul quwa pada surat An najm ayat 5 adalah malaikat jibril, yang selanjutnya disifati dengan Dzu mirrah yang dalam banyak kitab tafsir diberi pengertian dzu quwwah (yang mempunyai kekuatan). Jibril itu memang sangat kuat, kekuatannya ada pada dirinya. Jibril mempunyai kekuatan yang sangan luar biasa.[23]
Ayat diatas juga memberikan pelajaran bagi guru tentang sifat kuat. Sifat Kuat disini bukan berarti kuat secara fisik. Namun kuat dalam ayat ini dimaksudkan dalam kekuatan mental yang ada pada seorang guru. Kekuatan mental yang tinggi akan mengurangi rasa negatif yang menimpa diri seperti, cemas, malas, bosan, dan sebagainya. Oleh karena itu, seorang guru harus kuat dalam menghadapi segalam macam hal yang ada dalam tugasnya. Dan apabila ada masalah yang menyelimuti, seorang guru hendaknya kuat, sabar dan tabah menghadapinya serta berusaha untuk memecahkan masalah yang ada.
Dalam hadits yang diriwayatkan at-Turmudzi, Rasulullah SAW memerintahkan untuk menyampaikan segala apa yang dimiliki walaupun sedikit. Dan secara tersurat, hadits itu juga menyatakan ancaman bagi seseorang yang berbuat dusta.    
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ عَنِ ابْنِ ثَوْبَانَ هُوَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ حَسَّانَ بْنِ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِى كَبْشَةَ السَّلُولِىِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِى إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ- الترمذي
Menceritakan kepada kami Muhammad bin yahya, menceritakan kepada kami Muhammad bin yusuf dari ibnu tsauban. Dia Abdurrahman bin tasbit bin tsauban dari Hassan bin ‘athiyyah dari abi kabsyata as- saluliy dari ‘Abdillah bin ‘amr berkata: Rasulullah SAW bersabda: Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat, dan ceritakanlah kepada bani isra’il dan janganlah berbuat kesalahan. Dan barang siapa yang berdusta atas namaku (muhammad) dengan sengaja, maka Disediakan tempat baginya di neraka.
Dari matan hadits diatas, dapat dipahami beberapa pokok bahasan yang harus diimplementasikan oleh seorang guru (pendidik), diantarnya:
a.       Seseorang guru adalah seorang yang menyampaikan ilmu (pengetahuan) kepada orang lain, walaupun hanya sedikit.
b.      Seorang guru harusnya mencegah dirinya dari berbuat kesalahan, karena guru dipahami sebagai uswatun h}asanah (teladan) bagi semua elemen masyarakat khususnya peserta didiknya.
c.       Seorang guru tidak boleh berbuat dusta atas nama Nabi Muhammad. Dalam kaitannya ini berdusta atas nama Nabi Muhammad bisa diperluas maknanya (dilalatu an nash) dengan berdusta atas nama Allah. Oleh karena itu konsekuensi logisnya (dilalatu al-isyara>t) seseorang harus berbuat jujur dalam setiap kondisi apapun.
Menurut Athiyah Al-Abrasyi seorang pendidik Islam itu harus memiliki sifat-sifat tertentu agar ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Adapu sifat-sifat itu ialah;[24]
1.      Memiliki sifat zuhud, tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari keridlaan Allah semata.
2.      Seorang guru harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa besar, sifat riya’, dengki, permusuhan, perselisihan dan sifat tercela lainnya.
3.      Ikhlas dalam kepercayaan, keikhlasan dan kejujuran seorang guru di dalam pekerjaannya merupakan jalan terbaik ke arah suksesnya di dalam tugas dan sukses murid-muridnya.
4.      Seorang guru harus bersifat pemaaf terhadap murid, ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, sabar.
5.      Seorang guru harus mencintai murid-muridnya seperti cintanya kepada anak-anaknya sendiri, dan memikirkan keadaan mereka seperto memikirkan anak-anaknya sendiri.
6.      Seorang guru harus mempunyai tabiat, pembawaan, adat, kebiasaan, rasa dan pemikiran murid-muridnya agar ia tidak keliru dalam mendidik muridnya.
7.      Seorang guru harus menguasai mata pelajaran yang akan diberikannya, serta memperdalam pengetahuannya, tentang itu sehingga mata pelajaran itu tidak akan bersifat dangkal.

D.  KOMPETENSI GURU
       Dalam mengahadapi sengitnya kehidupan di bumi ini. Kemampuan seseorang dalam menghadapi situasi yang ada akan menjadi tolak ukur akan keberhasilan dalam menjalankan kehidupannya. Begitu juga dengan seorang guru yang harus mempunyai kompetensi yang tinggi agar mampu menghasilkan daya saing yang solid yang mampu mengatasi problem yang ada dan tentunya juga sukses menjalankan tugas sebagai pendidik dalam hidupnya.
       Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah cerdas. Firman Allah menjelaskan dalam surat An Najm ayat 6;
ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى (6)
Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) Menampakkan diri dengan rupa yang asli.[25]
       Ayat ini menerangkan, bahwa Jibril itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Buntinya, jibril mampu menghancurkan kaum samud yang ingkar pada Nabi luth. Dan kekuatan lainnya, adalah jibril mampu turun kebumi dalam waktu sekejap mata serta Jibril juga mampu berubah bentuk menjadi seperti manusia.[26]
       Secara eksplisit ayat diatas juga memberikan penjelasan bahwa guru seharusnya mempunyai kecerdasan yang tinggi. Kecerdasan ini bersifat sangat luas bagi seorang guru, diantaranya; guru cerdas dalam memahamkan atau mentrasfer materi yang diajarkan kepada murid, guru cerdas dalam memilih model dan strategi yang dipakai dalam system pembelajarannya, serta juga harus cerdas memecahkan masalah yang menghadapi dalam belajar mengajar.
       Kedua, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah berakhlak mulia. Dalam hadits Rasulullah disebutkan;
     حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا مُبَارَكٌ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامِ بْنِ عَامِرٍ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَخْبِرِينِى بِخُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَتْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ أَمَا تَقْرَأُ الْقُرْآنَ قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ) قُلْتُ فَإِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَتَبَتَّلَ. قَالَتْ لاَ تَفْعَلْ أَمَا تَقْرَأُ (لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ) فَقَدْ تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَقَدْ وُلِدَ لَهُ.-أحمد
Menceritakan kepada kami ‘abdullah, menceritakan kepadaku abi, menceritakan kepada kami hasyim bin al qasim berkata, menceritakan kepada kami mubarak dari hasan dari sa’id bin hisyam bin ‘amir berkata, aku datang kepada ‘aisyah, lalu aku berkata wahai ummul mu’minin, ceritakanlah kepadaku tentang akhlak rasulullah SAW. Aisyah berkata; akhlak rasululullah adalah al Qur’an, ketika kamu membaca al Qur’an firman Allah ‘azza wajalla. (وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ) dan sesungguhnya atasnya (Rasulullah) budi pekerti yang agung. Aku berkata, sesungguhnya aku menginginkan tidak kawin selamanya. Aisyah berkata; Janganlah kamu melakukannya, apakah kamu tidak membaca (لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ) sungguh telah ada pada diri Rasululullah SAW suri tauladan yang baik. Maka sungguh Rasulullah telah menikah. Dan sungguh telah dilahirkan darinya. (Ahmad).
           
       Hadits diatas menjelaskan secara tersurat bahwa Rasulullah memiliki budi pekerti yang agung, dan juga Rasulullah SAW juga telah diciptakan oleh Allah pada dirinya sebagai Uswatun hasanah (suri tauladan yang baik). Dalam hubungannya hadits diatas dengan konsep seorang guru yang secara tersirat dari hadits diatas dapat di ambil suatu pemahaman tentang kompetensi seorang guru yang harus memiliki akhlak mulia. Guru yang berakhlakul karimah akan senantiasa menjadi pendidik yang professional dengan karakter kepribadiannya yang baik, sehingga bisa mempengaruhi anak didiknya untuk mengikuti apa yang telah disampaikan dalam proses belajar mengajar.
Zakiah Daradjat menuturkan Budi pekerti yang baik (akhlakul karimah) sangatpenting untuk dimiliki oleh seorang guru (pendidik). Sebab, semua sifat dan akhlak yang dimiliki seorang guru akan senantiasa ditiru oleh anak didiknya. Yang dimaksud akhlak baik yang harus dimiliki oleh guru dalam konteks pendidikan Islam ialah akhlak yang sesuai dengan tuntunan agama Islam, seperti yang dicontohkan oleh pendidik utama Nabi Muhammad SAW dan para utusan Allah yang lainnya.[27] Diantara akhlak guru tersebut adalah;
1.    Mencintai jabatannya sebagai guru
Tidak semua orang yang menjadi guru karena panggilan jiwa. Diantara mereka ada yang menjadi guru karena dorongan ekonomi, dorongan teman atau orang tua, dan lainnya. Dan bagaimanapun seorang guru harus mencintai profesinya.  Karena dengan kecintaannya tersebut seorang guru dapat menghayati serta tulus dalam menjalankan tugas sebagai guru.
2.    Bersikap adil kepada semua muridnya
Peserta didik sangat tajam pandangannya terhadap perlakuan yang tidak adil. Guru kerapkali pilih kasih atau tidak adil kepada semua muridnya. Contohnya, lebih memperhatikan salah satu muridnya yang pintar dan membiarkan yang lainnya. Hal itu jelas tidak baik, oleh karena itu seorang guru harus bersikap adil dalam kondisi apapun.
3.    Berlaku sabar dan tenang
Di sekolah guru kerapkali merasakan kekecewaan karena murid kurang mengerti apa yang diajarkannya serta menemui beberapa masalah dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus bersikap tabah, sabar sambil mengkaji masalahnya dengan tenang.
4.     Guru harus berwibawa
Anak-anak ribut dan berbuat sekehendaknya, lalu guru merasa jengkel, dan meluapkan emosinya dengan marah bahkan memukul anak didik. Guru semacam ini adalah gambaran guru yang tidak berwibawa. Sebaliknya, guru yang berwibawa ialah guru yang mampu menguasai anak didiknya dalam keadaan apapun dengan cara yang baik. Inilah guru yang berwibawa.
5.    Guru harus Gembira
Guru yang gembira biasanya tidak lekas kecewa kepada anak didiknya yang sulit menerima materi yang diajarkan. Ia mengerti bahwa anak didiknya tidak bodoh, akan tetapi belum tahu. Dengan gembira, seorang guru harus menerangkan pelajaran sampai anak didiknya memahami materinya.
6.    Guru harus bersifat manusiawi
Guru adalah manusia yang tak lepas dari kekurangan dan cacat. Guru bukan manusia sempurna. Oleh karena itu, guru harus bisa mengetahui kekurangannya serta mampu memperbaikinya. Dengan demikia, guru bisa memahami sifat anak didiknya yang juga tak terlepas dari kesalahan. Oleh karena itu, guru harus bisa memperlakukan anak didiknya dengan adil dan manusiawi. Meskipun dengan memberi hukuman, tetapi yang terpenting adalah hukuman itu tidak sampai melanggar norma pendidikan yang berlaku.
7.    Bekerja sama dengan guru lain
Pertalian dan kerja sama yang erat antara guru-guru lebih berharga daripada fasilitas penunjang pendidikan yang memadai. Sebab apabila guru saling bertentangan, anak didik akan merasa bingung dengan keadaan tersebut. Oleh karena itu, peran guru dalam menjaga keharmonisan terhadap guru yang lain serta kepada semua jajaran yang ada di sekolah sangatlah penting untuk tetap dijaga kebaikannya. 
8.    Bekerja sama dengan masyarakat
Guru harus mempunyai pandangan yang luas. Ia harus bergaul dengan segala masyarakat dan secara aktif berperan serta dalam masyarakat supaya sekolah menjadi dikenal baik dan tidak di kucilkan oleh masyarakat.
            Uraian tentang kompetensi guru sebenarnya sangat banyak sekali, namun setidaknya ayat dan hadits diatas bisa menjadi rujukan untuk mengembangkan potensi yang ada pada guru sehingga menghasilkan pendidik yang berkompeten.


BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap semua aspek yang ada dalam anak didik. Dalam Islam, orang yang pertama bertanggung jawab adalah ayah dan ibu (orang tua), tapi seiring berkembangnya dan kemajuan zaman tugas itu diserahkan kepada pihak lembaga pendidikan yang bertugas sebagai pendidik kedua setelah orang tua. Dan pada intinya baik orang tua, maupun tenaga pendidik adalah membimbing anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai tujuan pendidikan yang sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, yakni menjadi insan kamil.
Rangkaian firman Allah SWT dan hadits Rasulullah SAW yang tertera dalampembahasan makalah ini yang kesemuanya merupakan penjelasana tentang pendidik dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits, dapat disimpulkan sebagai berikut;
1.    Sifat Guru
a.    Guru harus mempunyai sifat taqwa kepada Allah
b.    Guru harus mempunyai sifat kasih sayang dalam menjalankan tugasnya dimanapun dan kapanpun ia berada
c.    Guru harus kuat menghadapi tugas, masalah, dan segala yang ada dalam proses pendidikan
d.   Guru harus bersifat jujur, baik kepada anak didiknya, seluruh penduduk sekolah, dan orang lain.
2.    Tugas Guru
a.    Tugas guru yang pertama adalah pengajar atau penyampai ilmu.
b.    Guru sebagai Pembimbing atau penyuluh bagi seluruh anak didiknya dan bagi semua masyarakat luas.
c.    Guru sebagai penjaga (pemberi peringatan) bagi murid, keluarga, dan lainnya.
d.   Guru harus bisa membentuk karakter anak didiknya agar mempunyai tingkah laku (moral) yang baik yang sesuai tuntunan Islam.
e.    Guru sebagai Konselor yang akan memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi anak didiknya.
f.     Guru sebagai penuntun dan mengarahkan anak didiknya menuju tujuan pembelajaran yang akan dicapai, yakni membentuk manusia yang luhur, baik secara kognitif, afektif, dan psikomotorik.
3.    Kompetensi Guru
a.    Guru harus mempunyai kecerdasan, baik dalam menguasai materi ajar, cara penyampaiannya, dan menyikapi sekaligus memberikan solusi atas permasalaan yang ada dalam proses pembelajaran.
b.    Guru harus berakhlak mulia, karena setiap tindakan yang dilakukan oleh guru, akan senantiasa ditiru oleh anak didiknya. Oleh karena itu, guru harus mempunyai budi pekerti yang baik, agar anak didiknya menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).
           
B.  SARAN
Pembahasan tentang pendidik dalam makalah ini, sangatlah jauh dari kesempurnaan, oleh karena jika ada kesalahan dan kekurangan, kami memohon untuk dibenarkan. Karena kami sangat butuh saran yang membantu demi kemajuan dan keluasan ilmu pengetahuan terutama pengetahuan Agama Islam.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasy, M. Athiyah,  Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Daradjat, Zakiah,  Ilmu Pendidikan Islam , Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Kementrian Agama Republik Indonesia, Alqur’an dan tafsirnya jilid 9, Jakarta: WidyaCahaya, 2011
Kementrian Agama Republik Indonesia, Alqur’an dan tafsirnya jilid 10, Jakarta: WidyaCahaya, 2011.
Kementrian Agama Republik Indonesia, Alqur’an dan tafsirnya jilid 5, Jakarta: WidyaCahaya, 2011.
Quraish, M. Shihab, Tafisr Al mishbah (Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an) volume 7,Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Shihab, M. Quraish, Tafisr Al mishbah (Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an) volume 8,Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Shihab, M. Quraish, Tafisr Al mishbah (Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an) volume 14,Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Tafsir, Ahmad,  Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Uhbiyati , Nur, Ilmu Pendidikan Islam I, Bandung: Pustaka Setia, 1998.


[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal.74-75.
[2] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam I  (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 65.
[3] QS. Ar-Rahman: 2-4.
[4] Kementrian Agama Republik Indonesia, Alqur’an dan tafsirnya jilid 9 (Jakarta: WidyaCahaya, 2011), hal. 590-591.
[5] QS. An-Nahl: 103
[6] Kementrian Agama Republik Indonesia, Alqur’an dan tafsirnya jilid 9, Op. Cit, hal. 592.
[7] QS. An-Nahl: 43.
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al mishbah (Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an) volume 7,(Jakarta: Lentera Hati, 2002) hal. 233.
[9] An-Nahl: 44.
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir Al mishbah (Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an) volume 7, Op. Cit, hal. 236.
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al mishbah (Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an) volume 14, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 326.
[12] Kementrian Agama Republik Indonesia, Alqur’an dan tafsirnya jilid 10 (Jakarta: WidyaCahaya, 2011), hal. 205.
[13] QS. Al-Kahfi: 66-70.
[14] M. Quraish Shihab, Tafsir Al mishbah (Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an) volume 8, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 97.
[15] Ibid, Hal. 99.
[16] Ibid, hal. 100-101.
[17] Kementrian Agama Republik Indonesia, Alqur’an dan tafsirnya jilid 5 (Jakarta: WidyaCahaya, 2011), hal. 642.
[18] Ahmad Tafsir, Op.Cit., hal. 78.
[19] QS. Ar-Rahman: 1.
[20] QS. An-Najm: 5.
[21] QS. At-Takwir: 19-21.
[22]Kementrian Agama Republik Indonesia, Alqur’an dan tafsirnya jilid 9 (Jakarta: WidyaCahaya, 2011), hal. 531
[23] Ibid, hal. 528.
[24] M. Athiyah Al-Abrasy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 131-134.
[25] QS. An-Najm: 6.
[26] Kementerian Agama Republik Indonesia, Alqur’an dan Tafsirnya, jilid 9, Op Cit., hal. 531-532.

[27] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 44.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar