Bismillahirahmanirrahim
Mata kuliah yang paling umum diPendidikan Agama Islam untuk Pedidikan adalah Perspektif Pendidikan dalam Al-Qur'an dan AL- Hadist.
Mata kuliah yang paling umum diPendidikan Agama Islam untuk Pedidikan adalah Perspektif Pendidikan dalam Al-Qur'an dan AL- Hadist.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendidik
(guru) merupakan salah satu aspek yang terpenting dalam pendidikan. Guru
sebagai pendidik merupakan suatu amanah yang sangat berat untuk dilaksanakan.
Dikatakan berat, karena guru harus bisa membimbing dan mengarahkan peserta
didiknya ke arah yang positif dan lebih baik, dari semua aspek yang ada pada
peserta didik baik dari segi kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Seorang
guru bisa mengemban amanah sebagai pendidik dengan baik, apabila ia mengerti
akan berbagai teori yang menyangkut dirinya yang bertugas sebagai guru. Dalam
kaitannya dengan masalah ini, akan dibahas dalam makalah ini berbagai asumsi
yang diambil dari sumber utama agama Islam yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam
kedua sumber tersebut terdapat banyak sekali literatur-literatur yang membahas
tentang pendidik.
Makalah
ini akan membahas tentang berbagai teori tentang pendidik (guru).Diantaranya,
akan membahas tentang Sifat guru, hakikat dan tugas guru, serta kompetensi
Guru.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sifat yang
harus dimiliki oleh seorang guru dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits?
2. Apa Hakikat dan tugas
seorang guru dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits?
3. Apa Kompetensi yang
harus dimiliki seorang guru dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PENDIDIK (GURU)
Pendidik
dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak
didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggung jawab adalah orang tua (ayah
dan ibu) anak didik. Pada awalnya tugas pendidik adalah murni tugas kedua orang
tua, namun pada perkembangan zaman yang telah maju seperti sekarang ini banyak
tugas orang tua sebagai pendidik yang diserahkan ke sekolah, karena lebih
efisien dan lebih efektif.[1]
Nur
Uhbiyati memberikan definisi tentang pendidik; adalah orang dewasa yang
bertanggungjawab member bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu
melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di permukaan bumi,
sebagai makhluk sosial sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.[2]
B. HAKIKAT DAN TUGAS GURU
Fenomena
yang terjadi di kalangan masyarakat yang memandang bahwa tugas guru hanya
seorang pengajar (pentransfer ilmu) di lingkungan pendidikan perlu untuk
dirubah. Karena sejatinya seorang guru bukan hanya sebagai pengajar untuk
mencerdaskan pola pemikiran anak didik yang dari tidak menjadi tahu. Akan
tetapi penting untuk dijelaskan tugas seorang guru yang sebenarnya dari aspek
Al-Qur’an dan hadits.
Tugas
seorang guru yang pertama dan terpenting adalah pengajar (murabbiy, mu’allim).
Firman Allah dalam surat Ar-Rahman ayat 2 - 4.
عَلَّمَ
الْقُرْآَنَ (2) خَلَقَ الْإِنْسَانَ (3) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (4)
Kata al-bayan
berasal dari bana yabinu bayanan yang berarti nyata, terang dan jelas. Dengan
al-bayan dapat terungkap apa yang belum jelas. Pengajaran al-bayan oleh Allah
tidak hanya terbatas pada ucapan, tetapi mencakup segala bentuk ekspresi,
termasuk seni dan raut muka. Menurut al-biqa’I, kata al-bayan adalah potensi
berpikir, yakni mengetahui persoalan kulli dan juz’I, menilai
yang tampak dan yang ghaib serta menganalogikannya dengan yang tampak.
Kadang-kadang al-bayan berarti tanda-tanda, bisa juga berarti perhitungan atau
ramalan. Itu semua disertai potensi untuk menguraikan sesuatu yang tersembunyi
dalam benak serta menjelaskan dan mengajarkannya kepada pihak lain. Sekali
dengan kata-kata, kemudian dengan perbuatan, dengan ucapan, tulisan, isyarat
dan lain-lain.[4]
Pada
ayat ini Allah yang maha pengasih dan penyayang menyatakan bahwa Dia telah
mengajarkan Al-qur’an kepada Muhammad SAW yang selanjutnya diajarkan kepada
umatnya. Ayat ini turun sebagai bantahan bagi penduduk makkah yang mengatakan:
إِنَّمَا
يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ
Dalam
ayat 4 dinyatakan bahwa Allah mengajar manusia pandai berbicara. Berbicara
tentu dengan menggunakan lidah, karena lidah selain sebagai alat perasa juga
menjadi alat yang berfungsi sebagai media untuk berkomunikasi. Lidah dalam
agama hampir selalu dikaitkan dengan hati dan digunakan untuk mengukur baik
buruknya prilaku seseorang. Manusia akan menjadi baik, apabila keduanya baik,
sebaliknya manusia akan menjadi buruk apabila keduanya buruk. Nabi Muhammad SAW
menunjuk lidah sebagai faktor utama yang membawa bencana bagi manusia, dan ia
merupakan tolak ukur untuk bagian tubuh lainnya.[6] Beliau bersabda dalam haditsnya:
حدثنا محمد بن
موسى البصري حدثنا حماد بن أبي زيد عن ابي الصهباء عن سعيد بن جبير عن أبي سعيد
الخدري رفعه قال : إذا أصبح ابن آدم فإن الأعضاء كلها تكفر اللسان فتقول
اتق الله فينا فإنما نحن بك فإن استقمت استقمنا وإن اعوججت اعوججنا
Jika manusia bangun
di pagi hari, maka seluruh anggota tubuhnya mengingatkan lidah dan berpesan,
“bertakwalah kepada Allah menyangkut kami, karena kami tidak lain kecuali
denganmu. Jika engkau lurus, kami pun lurus, dan jika engkau bengkok kami pun
bengkok. (Riwayat at-Tirmidzi dari Abu sa’id al khudri).
Hadits
Rasulullah SAW juga membahas tentang pendidik, yakni hadits yangdiriwayatkan oleh
Imam Ad- Darami;
أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زِيَادِ بْنِ
أَنْعُمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ رَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ بِمَجْلِسَيْنِ فِى
مَسْجِدِهِ فَقَالَ :« كِلاَهُمَا عَلَى خَيْرٍ وَأَحَدُهُمَا أَفْضَلُ مِنْ
صَاحِبِهِ ، أَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَدْعُونَ اللَّهَ وَيُرَغِّبُونَ إِلَيْهِ فَإِنْ
شَاءَ أَعْطَاهُمْ وَإِنْ شَاءَ مَنَعَهُمْ ، وَأَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَتَعَلَّمُونَ
الْفِقْهَ وَالْعِلْمَ وَيُعَلِّمُونَ الْجَاهِلَ فَهُمْ أَفْضَلُ ، وَإِنَّمَا
بُعِثْتُ مُعَلِّماً » قَالَ : ثُمَّ جَلَسَ فِيهِمْ.- الدارمي
Menceritakan kepada
kami ‘abdullah bin yazid, menceritakan kepada kami ‘abdur Rahman bi ziyad bin
an’um bin abdur Rahman bin Rafi’ dari Abdullah bin ‘amr: Sesungguhnya
rasulullah SAW melewati dua majlis di masjidnya, lalu Rasulullah berkata;
keduanya itu baik dan sala ssatu keduanya itu lebih utama dari sahabatnya.
Adapun mereka berdo’a kepada allah dan menyenangkan kepadaNya. Maka jika Allah
berkehendak mereka akan diberi. Dan jika Allah berkendak mereka akan dicegah.
Adapun mereka ada yang belajar ilmu fiqh dan mereka mengajarkan kepada orang
yang bodoh. Maka mereka itulah yang lebih utama. Dan sesungguhnya aku di utus
sebagai pengajar (pendidik). Abdullah bin ‘amr berkata: kemudian rasulullah
duduk bersama mereka.
Hadits
diatas menjadi penjelas bagi seluruh umat manusia, bahwa setelah Rasulullahdiajarkan
kepadanya Al-Qur’an lalu Rasulullah mengatakan dalam haditsnya yang
mengisyaratkan bahwa beliau diutus adalah sebagai pendidik.
Seorang pendidik
akan senantiasa menyampaikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk bisa
diserap oleh muridnya sehingga nantinya ilmu pengetahuan tersebut akan semakin
dikembangkan oleh peserta didik. Hadits Rasulullah SAW menyatakan;
بَلِّغُوا
عَنِّى وَلَوْ آيَةً – الترمذي
Sampaikanlah
dariku walaupun hanya satu ayat.
Tugas
guru yang kedua adalah sebagai pembimbing atau penyuluh. Hal ini digambarkan
dalam firman Allah surat An-nahl ayat 43;
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43)
Dan Kami tidak mengutus
sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka;
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.[7]
Ayat
ini kembali menguraikan kesesatan pandangan mereka menyangkut kerasulan Nabi
Muhammad SAW. Dalam penolakan itu, mereka selalu berkata bahwa manusia tidak
wajar menjadi utusan Allah, atau paling tidak dia harus disertai oleh malaikat.
Ayat ini menegaskan bahwa: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kepada
umat manusia kapan dan dimanapun, kecuali orang-orang lelaki, yakni
jenis manusia pilihan, bukan malaikat yang Kami beri wahyu kepada
mereka; antara lain melalui Jibril; Maka wahai orang-orang
yang ragu atau tidak tahu bertanyalah kepada Ahli Dzikr, yakni
orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Thaba>thaba>’i salah
seorang ulama’ dari aliran syi’ah berpendapat bahwa ayat ini
menginformasikan bahwa dakwah keagamaan dan risalah kenabian adalah dakwah yang
disampaikan oleh manusia biasa yang mendapat wahyu dan bertugas mengajak
manusia menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.[8] Simpulan dari ayat ini mengenai
tugas seorang guru adalah guru sebagai penyuluh yang selalu memberikan
peringatan dan pembimbing bagi semuanya demi mendakwahkan amar ma’ruf
nahi munkar. Selanjutnya dilanjutkan dengan ayat 44 yang berbunyi;
بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44)
Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.[9]
Para Rasul
yang kami utus sebelummu itu semua membawa keterangan-keterangan,
yakni mukjizat-mukjizat nyata yang membuktikan kebenaran mereka sebagai Rasul, dansebagian
membawa pula zubur, yakni kitab-kitab yang mengandung
ketetapan-ketetapan hokum dan nasihat-nasihat yang seharusnya menyentuh hati, dan
kami turunkan kepadamu ad-Dzikr, yakni Al-Qur’an, agar engkau
menerangkan kepada seluruh umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka,
yakni Al-Qur’an itu, mudah-mudahan dengan penjelasanmu mereka mengetahui dan
sadar dan supaya mereka senantiasa berpikirlalu menarik pelajaran
untuk kemaslahatan hidup duniawi dan ukhrawi mereka.[10]
Ayat ini
mengisyaratkan dan menegaskan lagi akan tugas seorang guru (pendidik) agar
senantiasa tidak henti-hentinya untuk mengamalkan segala ilmu yang telah
didapatkannya serta mentransfer segala pengetahuan yang ada kepada semua
peserta didik khususnya, dan umumnya kepada seluruh umat elemen masyarakat.
Tugas ketiga
seorang guru adalah sebagai penjaga. Firman Allah SWT dalam surat At-Tahrim
ayat 6;
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ
اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (6)
Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Ayat ini
memberikan tuntunan kepada kaum beriman bahwa: hai orang-orang yang beriman,
peliharalah diri kamu antara lain dengan meneladani Nabi dan pelihara juga
keluarga kamu yakni istri, anak-anak dan seluruh yang berada dibawah tanggung
jawab kamu dengan membimbing dan mendidik mereka agar kamu semua terhindar dari
batu-batu antara lain yang dijadikan berhala-berhala. Diatasnya yakni yang
menangani nerakan itu dan bertugas menyiksa penghuni-penghuninya adalah
malaikat-malaikat yang kasar-kasar hati dan perlakuannya, yang keras-keras
perlakuannya dalam melaksanakan tugas penyiksaan, yang tidak mendurhakai Allah
menyangkut apa yang Dia perintahkan kepada mereka sehingga siksa mereka
jatuhkan-kendati mereka kasar-tidak kurang dan tidak juga terlebih dari apa
yang diperintahkan Allah, yakni sesuai dengan dosa dan kesalahan masing-masing
penghuni neraka dan mereka juga senantiasa dan dari saat ke saat mengerjakan
dengan mudah apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.[11]
Diriwayatkan bahwa
ketika ayat ke-6 ini turun, ‘umar berkata, “ Wahai Rasulullah, kami sudah
menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami? Rasulullah SAW
menjawab, “ larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan
perintahkan mereka melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadamu. [12]
Ayat diatas
menjelaskan untuk memelihara diri sendiri dan keluarga dari api neraka. Ayat
ini dimaksudkan bagi pendidik atau seorang guru haruslah bisa menata diri
sebagai bentuk dari contoh kepribadiannya yang baik, dan nantinya akan
ditularkan kepada keluarga dan masyarakat luas. Oleh karena itu, seorang guru
harus bisa melindungi dan mengarahkan dirinya, keluarga, serta orang lain agar
nanti bisa selamat dunia akhirat dan bebas dari siksa neraka.
Tugas keempat adalah
guru sebagai pendidik dan penanggung jawab moral anak didiknya.
حدثنا
العباس بن الوليد الدمشقي . حدثنا علي بن عياش . حدثنا سعيد بن عمارة . أخبرني الحارث
بن النعمان . سمعت أنس بن مالك يحدث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم :
قال ( أكرموا أولادكم وأحسنوا أدبهم )- ابن ماجه
Menceritakan
kepada al- ‘abbas bin al-walid al-damasyqiy. Menceritakan kepada kami ‘ali bin
‘iyasy. Menceritakan kepada kami sa’id bin ‘umarah. Menceritakan kepadaku
al-harits bin an-nu’man. Aku mendengar Anas bin Malik berkata dari Rasulullah
SAW berkata: Mulyakanlah anak-anakmu dan baguskanlah budi pekerti mereka.
Dalam hadits
diatas mengingatkan kepada seorang pendidik agar senantiasa untuk memulyakan
anaknya. Mulya disini bisa diperluas maknanya dengan bersifat baik, adil, jujur
dan bijaksana kepada anak didiknya. Dan tugas kedua yang dicerminkan dalam
hadits ini adalah untuk mengajarkan akhlak yang baik. Pendidik diharuskan untuk
memiliki kepribadian yang baik, agar anak didiknya akan mencontoh sifatnya dan
tugas ini juga sangat sesuai dengan hadits Rasulullah yang artinya;
Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (tingkah laku).
Tingkah
laku juga menjadi cerminan atau tolak ukur bagi manusia. Karena manusia yang
sempurna adalah manusia yang ta’at kepada Allah dalam beribadah (hablu
minallah) dan juga bisa berbuat baik kepada sesame makhluk ciptaan Allah yang
ada disekitarnya. Sehingga pembentukan akhlak yang baik harus diprioritaskan,
untuk membangun dan menjadikan manusia yang sempurna (insan kamil).
Selanjutnya tugas
guru kelima adalah sebagai penuntun dan pemberi pengarahan. Hal itu, dikisahkan
oleh Allah dalam firmannya Surat Al-Kahfi ayat 66-70.
قَالَ لَهُ
مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66)
قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (67) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا
لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (68) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا
وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا (69) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي
عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا (70)
Musa berkata kepada
Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu
yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"Dia
menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama
aku. dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Musa berkata: "Insya Allah
kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan
menentangmu dalam sesuatu urusanpun". Dia berkata: "Jika kamu
mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun,
sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".[13]
Dalam pertemuan
kedua tokoh itu musa berkata kepadanya, yakni kepada hamba Allah yang
memperoleh ilmu khusus itu, “ Bolehkah aku mengikutimu secara
bersungguh-sungguh supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari apa, yakni
ilmu-ilmu yang telah di ajarkan Allah kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku
menuju kebenaran?”, Dia menjawab, “Sesungguhnya engkau hai musa sekali-kali
tidak akan sanggup sabar bersamaku. Yakni peristiwa-peristiwa yang engkau akan
alami bersamaku, akan membuatmu tidak sabar. Dan, yakni padahal bagaimana
engkau dapat sabar atas sesuatu, yang engkau belum jangkau secara menyeluruh
hakikat beritanya?” Engkau tidak memiliki pengetahuan bathiniah yang cukup
tentang apa yang akan engkau lihat dan alami bersamaku itu.[14]
Ucapan hamba
Allah ini, memberi isyarat bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anaknya
menuntun anak didiknya dan memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi
dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika
sang pendidik mengetahui bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang
ilmu yang akan dipelajarinya.[15]
Mendengar komentar
sebagaimana terbaca pada ayat yang lalu dia, Nabi Musa AS tertata kepada hamba
yang shaleh itu ”engkau Insya’ Allah akan mendapati aku sebagai seorang
penyabar yang insya’ Allah mampu menghadapi ujian dan cobaan, dan akau tidak
akan menentangmu dalam sesuatu perintah yang engkau perintahkan atau urusan
apapun”. “Dia berkata, jika engkau mengikutiku secara bersungguh-sungguh, ,maka
seandainya engkau melihat hal-hal yang tidak sejalan dengan pendapatmu atau
bertentangan dengan apa yang engkau ajarkan, maka janganlah engkau menanyakan
kepadaku tentang sesuatu apapun, yang aku kerjakan atau ku ucapakan sampai bila
tiba waktunya nanti aku sendiri menerangkannya kepadamu”. Demikian hamba yang
shaleh itu menetapkan syarat ke ikut sertaaan Nabi Musa AS.
Ucapan Isya’
Allah itu disamping merupakan adab yang di ajarkan semua agama dalam menghadapi
sesuatu di masa depan, ia juga mengandung makna permohonan kiranya memperoleh
bantuan Allah SWT dalam menghadapi sesuatu. Apalagi dalam belajar, khususnya
dalam mempelajari dan mengamalkan hal-hal yang bersifat batiniah/tasawuf. Ini
lebih penting lagi bagi seseorang yang telah memiliki pengetahuan, karena boleh
jadi pengetahuan, karena boleh jadi pengetahuan yang dimilikinya tidak sejalan
dengan sikap atau apa yang di ajarkan sang guru.[16]
Kisah ini
antara Nabi Musa dan Khidir bisa menjadi pedoman dalam adab dan sopan santun
seorang murid terhadap gurunya dan semangat untuk mencari ilmu.[17] Selanjutnya beberapa ayat ini juga
mengsiyaratkan bahwa seorang guru harus bisa menghormati muridnya dengan
berbaik hati. Selain itu, seorang guru harus bersikap bijaksana dengan
memberikan kesimpulan atas pengajaran yang diberikan kepada muridnya, sehingga
anak didiknya akan mengetahui maksud materi pengajaran.
Mengenai
tugas guru ahmad tafsir ahli menjelaskan bahwa ahli pendidikan Islam, ahli pendidikan
barat bahwa tugas guru ialah mendidik. Mendidik adalah tugas yang amat luas.
Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk
memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan
lain-lain.[18].
C. SIFAT GURU
Sifat
guru yang tergambar dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam
Ad-Daramiy adalah menerangkan untuk takut kepada Allah, tidak sombong, dzikir,
serta memohon ampun kepada Allah.
أَخْبَرَنَا
أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ مُسْلِمٍ
عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ : كَفَى بِالْمَرْءِ عِلْماً أَنْ يَخْشَى اللَّهَ
، وَكَفَى بِالْمَرْءِ جَهْلاً أَنْ يُعْجَبَ بِعِلْمِهِ. قَالَ وَقَالَ مَسْرُوقٌ
: الْمَرْءُ حَقِيقٌ أَنْ تَكُونَ لَهُ مَجَالِسُ يَخْلُو فِيهَا فَيَذْكُرُ
ذُنُوبَهُ فَيَسْتَغْفِرُ اللَّهَ- الدارمي
“Menceritakan kepada
kami ahmad bin ‘abdullah, menceritakan kepada kami zaidah dari al- a’masy dari muslim dari masruq
berkata: Cukup bagi seseorang yang berilmu untuk takut kepada Allah. Dan cukup
bagi seorang yang bodoh untuk membanggakan ilmunya. Muslim Berkata, dan masruq
berkata: seseorang yang benar adalah apabila dia dalam majlis yang kosong
didalamnya, maka ia akan mengingat dosanya dan memohon ampun kepada Allah”.
Hadits
diatas memberikan gambaran, bahwa seorang guru harus mempunyai sifattakut, yang
bisa diperluas dengan menggunakan kata taqwa. Taqwa disini
dimaksudkan agar guru senantiasa merasa takut untuk berbuat yang dilarang, agar
anak didiknya tidak meniru apa yang dilakukan oleh gurunya. Hal semacam ini
yang penting untuk diterapkan oleh guru. Karena tugas seorang guru bukan hanya
mengajar atau mentransfer ilmu. Akan tetapi sangat jauh dari pada itu, seorang
guru adalah pendidik dari semua aspek yang ada pada manusia baik dari sisi
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Selain takut
kepada Allah, hadits diatas juga melarang untuk menyombongkan diri dengan ilmu,
dan senantiasa mengingat dosa atau kesalahannya lalu meminta ampun kepada Allah
SWT. Matan hadits diatas hendaknya dilaksanakan dengan baik dalam menjalankan
tugasnya sebagai pendidik.
Selanjutnya sifat
yang harus dimiliki oleh seorang guru sebagai pendidik, banyak dibahas dalam
Alqur’an, diantaranya dalam Surat Ar-rahman ayat 1.
الرَّحْمَنُ
(1)
Ayat diatas
menggambarkan akan sifat guru yang harus memiliki rasa kasih sayang. Hal ini
dimaksudkan agar guru senantiasa memberikan limpahan perasaan yang mendalam
kepada seluruh anak didiknya dengan kasih sayang agar kegiatan belajar berjalan
dengan khidmat dan tentunya dapat membuat anak didik merasa nyaman ketika
belajar serta KBM (kegiatan belajar mengajar) akan membuahkan hasil yang baik
sesuai dengan keinginan.
Kepribadian yang
baik seorang guru akan baik, akan senantiasa memperlancar kegiatan belajar, dan
dengan pribadi baik pula akan menghasilkan pendidikan yang di inginkan. Dalam
Al-qur’an juga banyak membahas tentang berbagai sifat yang baik, yang secara
eksplisit harus dimiliki oleh seorang guru. Dalam surat An-najm ayat 5
menjelaskan tentang sifat kuat.
عَلَّمَهُ
شَدِيدُ الْقُوَى (5)
Dalam
ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW di ajari oleh jibril.
Jibril itu sangat kuat, baik ilmunya maupun amalnya. Dalam firman Allah SWT
dijelaskan dalam surat At-Takwir: 19-21:
إِنَّهُ
لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (19) ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ (20)
مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ (21)
Sesungguhnya Al
Qur'aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia
(Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan Tinggi di sisi
Allah yang mempunyai 'Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi
dipercaya.[21]
Kemudian
Nabi Muhammad SAW mempelajarinya dan mengamalkannya. Ayat ini merupakan jawaban
dari perkataan mereka yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW itu hanyalah tukang
dongeng yang mendongengkan dongeng-dongeng (legenda-legenda) orang-orang
dahulu. Dari sini jelas bahwa Rasulullah SAW itu bukan di ajari seorang manusia
akan tetapi di ajari oleh malaikat jibril yang sangat kuat.[22]
Yang dimaksud
syadidul quwa pada surat An najm ayat 5 adalah malaikat jibril, yang
selanjutnya disifati dengan Dzu mirrah yang dalam banyak kitab tafsir diberi
pengertian dzu quwwah (yang mempunyai kekuatan). Jibril itu memang sangat kuat,
kekuatannya ada pada dirinya. Jibril mempunyai kekuatan yang sangan luar biasa.[23]
Ayat
diatas juga memberikan pelajaran bagi guru tentang sifat kuat. Sifat Kuat
disini bukan berarti kuat secara fisik. Namun kuat dalam ayat ini dimaksudkan
dalam kekuatan mental yang ada pada seorang guru. Kekuatan mental yang tinggi
akan mengurangi rasa negatif yang menimpa diri seperti, cemas, malas,
bosan, dan sebagainya. Oleh karena itu, seorang guru harus kuat dalam
menghadapi segalam macam hal yang ada dalam tugasnya. Dan apabila ada masalah
yang menyelimuti, seorang guru hendaknya kuat, sabar dan tabah menghadapinya
serta berusaha untuk memecahkan masalah yang ada.
Dalam
hadits yang diriwayatkan at-Turmudzi, Rasulullah SAW memerintahkan untuk
menyampaikan segala apa yang dimiliki walaupun sedikit. Dan secara tersurat,
hadits itu juga menyatakan ancaman bagi seseorang yang berbuat dusta.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ عَنِ ابْنِ ثَوْبَانَ
هُوَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ حَسَّانَ بْنِ
عَطِيَّةَ عَنْ أَبِى كَبْشَةَ السَّلُولِىِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ
آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِى إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ- الترمذي
Menceritakan kepada
kami Muhammad bin yahya, menceritakan kepada kami Muhammad bin yusuf dari ibnu
tsauban. Dia Abdurrahman bin tasbit bin tsauban dari Hassan bin ‘athiyyah dari
abi kabsyata as- saluliy dari ‘Abdillah bin ‘amr berkata: Rasulullah SAW
bersabda: Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat, dan ceritakanlah kepada bani
isra’il dan janganlah berbuat kesalahan. Dan barang siapa yang berdusta atas
namaku (muhammad) dengan sengaja, maka Disediakan tempat baginya di neraka.
Dari matan
hadits diatas, dapat dipahami beberapa pokok bahasan yang harus
diimplementasikan oleh seorang guru (pendidik), diantarnya:
a. Seseorang
guru adalah seorang yang menyampaikan ilmu (pengetahuan) kepada orang lain,
walaupun hanya sedikit.
b. Seorang
guru harusnya mencegah dirinya dari berbuat kesalahan, karena guru dipahami
sebagai uswatun h}asanah (teladan) bagi semua elemen
masyarakat khususnya peserta didiknya.
c. Seorang
guru tidak boleh berbuat dusta atas nama Nabi Muhammad. Dalam kaitannya ini
berdusta atas nama Nabi Muhammad bisa diperluas maknanya (dilalatu an nash)
dengan berdusta atas nama Allah. Oleh karena itu konsekuensi logisnya (dilalatu al-isyara>t)
seseorang harus berbuat jujur dalam setiap kondisi apapun.
Menurut
Athiyah Al-Abrasyi seorang pendidik Islam itu harus memiliki sifat-sifat
tertentu agar ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Adapu sifat-sifat itu
ialah;[24]
1. Memiliki
sifat zuhud, tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari keridlaan
Allah semata.
2. Seorang
guru harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa besar, sifat riya’, dengki,
permusuhan, perselisihan dan sifat tercela lainnya.
3. Ikhlas
dalam kepercayaan, keikhlasan dan kejujuran seorang guru di dalam pekerjaannya
merupakan jalan terbaik ke arah suksesnya di dalam tugas dan sukses
murid-muridnya.
4. Seorang
guru harus bersifat pemaaf terhadap murid, ia sanggup menahan diri, menahan
kemarahan, lapang hati, sabar.
5. Seorang
guru harus mencintai murid-muridnya seperti cintanya kepada anak-anaknya
sendiri, dan memikirkan keadaan mereka seperto memikirkan anak-anaknya sendiri.
6. Seorang
guru harus mempunyai tabiat, pembawaan, adat, kebiasaan, rasa dan pemikiran
murid-muridnya agar ia tidak keliru dalam mendidik muridnya.
7. Seorang
guru harus menguasai mata pelajaran yang akan diberikannya, serta memperdalam
pengetahuannya, tentang itu sehingga mata pelajaran itu tidak akan bersifat
dangkal.
D. KOMPETENSI GURU
Dalam
mengahadapi sengitnya kehidupan di bumi ini. Kemampuan seseorang dalam
menghadapi situasi yang ada akan menjadi tolak ukur akan keberhasilan dalam
menjalankan kehidupannya. Begitu juga dengan seorang guru yang harus mempunyai
kompetensi yang tinggi agar mampu menghasilkan daya saing yang solid yang mampu
mengatasi problem yang ada dan tentunya juga sukses menjalankan tugas sebagai
pendidik dalam hidupnya.
Salah
satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah cerdas. Firman
Allah menjelaskan dalam surat An Najm ayat 6;
ذُو مِرَّةٍ
فَاسْتَوَى (6)
Ayat
ini menerangkan, bahwa Jibril itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Buntinya,
jibril mampu menghancurkan kaum samud yang ingkar pada Nabi luth. Dan kekuatan
lainnya, adalah jibril mampu turun kebumi dalam waktu sekejap mata serta Jibril
juga mampu berubah bentuk menjadi seperti manusia.[26]
Secara
eksplisit ayat diatas juga memberikan penjelasan bahwa guru seharusnya
mempunyai kecerdasan yang tinggi. Kecerdasan ini bersifat sangat luas bagi
seorang guru, diantaranya; guru cerdas dalam memahamkan atau mentrasfer materi
yang diajarkan kepada murid, guru cerdas dalam memilih model dan strategi yang
dipakai dalam system pembelajarannya, serta juga harus cerdas memecahkan
masalah yang menghadapi dalam belajar mengajar.
Kedua,
kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah berakhlak mulia. Dalam
hadits Rasulullah disebutkan;
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا
مُبَارَكٌ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامِ بْنِ عَامِرٍ قَالَ أَتَيْتُ
عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَخْبِرِينِى بِخُلُقِ رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَتْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ أَمَا تَقْرَأُ
الْقُرْآنَ قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ)
قُلْتُ فَإِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَتَبَتَّلَ. قَالَتْ لاَ تَفْعَلْ أَمَا تَقْرَأُ
(لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ) فَقَدْ تَزَوَّجَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَقَدْ وُلِدَ لَهُ.-أحمد
Menceritakan kepada
kami ‘abdullah, menceritakan kepadaku abi, menceritakan kepada kami hasyim bin
al qasim berkata, menceritakan kepada kami mubarak dari hasan dari sa’id bin
hisyam bin ‘amir berkata, aku datang kepada ‘aisyah, lalu aku berkata wahai
ummul mu’minin, ceritakanlah kepadaku tentang akhlak rasulullah SAW. Aisyah
berkata; akhlak rasululullah adalah al Qur’an, ketika kamu membaca al Qur’an
firman Allah ‘azza wajalla. (وَإِنَّكَ
لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ) dan sesungguhnya atasnya (Rasulullah)
budi pekerti yang agung. Aku berkata, sesungguhnya aku menginginkan tidak
kawin selamanya. Aisyah berkata; Janganlah kamu melakukannya, apakah kamu tidak
membaca (لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ) sungguh telah ada pada diri
Rasululullah SAW suri tauladan yang baik. Maka sungguh Rasulullah telah
menikah. Dan sungguh telah dilahirkan darinya. (Ahmad).
Hadits
diatas menjelaskan secara tersurat bahwa Rasulullah memiliki budi pekerti yang
agung, dan juga Rasulullah SAW juga telah diciptakan oleh Allah pada dirinya
sebagai Uswatun hasanah (suri tauladan yang baik). Dalam
hubungannya hadits diatas dengan konsep seorang guru yang secara tersirat dari
hadits diatas dapat di ambil suatu pemahaman tentang kompetensi seorang guru
yang harus memiliki akhlak mulia. Guru yang berakhlakul karimah akan senantiasa
menjadi pendidik yang professional dengan karakter kepribadiannya yang baik,
sehingga bisa mempengaruhi anak didiknya untuk mengikuti apa yang telah
disampaikan dalam proses belajar mengajar.
Zakiah
Daradjat menuturkan Budi pekerti yang baik (akhlakul karimah)
sangatpenting untuk dimiliki oleh seorang guru (pendidik). Sebab, semua
sifat dan akhlak yang dimiliki seorang guru akan senantiasa ditiru oleh anak
didiknya. Yang dimaksud akhlak baik yang harus dimiliki oleh guru dalam konteks
pendidikan Islam ialah akhlak yang sesuai dengan tuntunan agama Islam, seperti
yang dicontohkan oleh pendidik utama Nabi Muhammad SAW dan para utusan Allah
yang lainnya.[27] Diantara akhlak guru tersebut
adalah;
1. Mencintai jabatannya
sebagai guru
Tidak
semua orang yang menjadi guru karena panggilan jiwa. Diantara mereka ada yang
menjadi guru karena dorongan ekonomi, dorongan teman atau orang tua, dan
lainnya. Dan bagaimanapun seorang guru harus mencintai profesinya. Karena
dengan kecintaannya tersebut seorang guru dapat menghayati serta tulus dalam
menjalankan tugas sebagai guru.
2. Bersikap adil kepada
semua muridnya
Peserta
didik sangat tajam pandangannya terhadap perlakuan yang tidak adil. Guru
kerapkali pilih kasih atau tidak adil kepada semua muridnya. Contohnya, lebih
memperhatikan salah satu muridnya yang pintar dan membiarkan yang lainnya. Hal
itu jelas tidak baik, oleh karena itu seorang guru harus bersikap adil dalam
kondisi apapun.
3. Berlaku sabar dan
tenang
Di
sekolah guru kerapkali merasakan kekecewaan karena murid kurang mengerti apa
yang diajarkannya serta menemui beberapa masalah dalam proses pembelajaran.
Oleh karena itu, guru harus bersikap tabah, sabar sambil mengkaji masalahnya
dengan tenang.
4. Guru harus
berwibawa
Anak-anak
ribut dan berbuat sekehendaknya, lalu guru merasa jengkel, dan meluapkan
emosinya dengan marah bahkan memukul anak didik. Guru semacam ini adalah
gambaran guru yang tidak berwibawa. Sebaliknya, guru yang berwibawa ialah guru
yang mampu menguasai anak didiknya dalam keadaan apapun dengan cara yang baik.
Inilah guru yang berwibawa.
5. Guru harus Gembira
Guru
yang gembira biasanya tidak lekas kecewa kepada anak didiknya yang sulit
menerima materi yang diajarkan. Ia mengerti bahwa anak didiknya tidak bodoh,
akan tetapi belum tahu. Dengan gembira, seorang guru harus menerangkan
pelajaran sampai anak didiknya memahami materinya.
6. Guru harus bersifat
manusiawi
Guru
adalah manusia yang tak lepas dari kekurangan dan cacat. Guru bukan manusia
sempurna. Oleh karena itu, guru harus bisa mengetahui kekurangannya serta mampu
memperbaikinya. Dengan demikia, guru bisa memahami sifat anak didiknya yang
juga tak terlepas dari kesalahan. Oleh karena itu, guru harus bisa
memperlakukan anak didiknya dengan adil dan manusiawi. Meskipun dengan memberi
hukuman, tetapi yang terpenting adalah hukuman itu tidak sampai melanggar norma
pendidikan yang berlaku.
7. Bekerja sama dengan
guru lain
Pertalian
dan kerja sama yang erat antara guru-guru lebih berharga daripada fasilitas
penunjang pendidikan yang memadai. Sebab apabila guru saling bertentangan, anak
didik akan merasa bingung dengan keadaan tersebut. Oleh karena itu, peran guru
dalam menjaga keharmonisan terhadap guru yang lain serta kepada semua jajaran
yang ada di sekolah sangatlah penting untuk tetap dijaga kebaikannya.
8. Bekerja sama dengan
masyarakat
Guru
harus mempunyai pandangan yang luas. Ia harus bergaul dengan segala masyarakat
dan secara aktif berperan serta dalam masyarakat supaya sekolah menjadi dikenal
baik dan tidak di kucilkan oleh masyarakat.
Uraian
tentang kompetensi guru sebenarnya sangat banyak sekali, namun setidaknya ayat
dan hadits diatas bisa menjadi rujukan untuk mengembangkan potensi yang ada
pada guru sehingga menghasilkan pendidik yang berkompeten.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pendidik
dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap semua aspek
yang ada dalam anak didik. Dalam Islam, orang yang pertama
bertanggung jawab adalah ayah dan ibu (orang tua), tapi seiring berkembangnya
dan kemajuan zaman tugas itu diserahkan kepada pihak lembaga pendidikan yang
bertugas sebagai pendidik kedua setelah orang tua. Dan pada intinya baik orang
tua, maupun tenaga pendidik adalah membimbing anak didik dalam perkembangan
jasmani dan rohaninya agar mencapai tujuan pendidikan yang sesuai dengan
kodratnya sebagai manusia, yakni menjadi insan kamil.
Rangkaian
firman Allah SWT dan hadits Rasulullah SAW yang tertera dalampembahasan makalah
ini yang kesemuanya merupakan penjelasana tentang pendidik dalam perspektif
Al-Qur’an dan Hadits, dapat disimpulkan sebagai berikut;
1. Sifat Guru
a. Guru harus mempunyai
sifat taqwa kepada Allah
b. Guru harus mempunyai
sifat kasih sayang dalam menjalankan tugasnya dimanapun dan kapanpun ia berada
c. Guru harus kuat
menghadapi tugas, masalah, dan segala yang ada dalam proses pendidikan
d. Guru harus bersifat jujur, baik kepada anak didiknya,
seluruh penduduk sekolah, dan orang lain.
2. Tugas Guru
a. Tugas guru yang
pertama adalah pengajar atau penyampai ilmu.
b. Guru sebagai
Pembimbing atau penyuluh bagi seluruh anak didiknya dan bagi semua masyarakat
luas.
c. Guru sebagai penjaga
(pemberi peringatan) bagi murid, keluarga, dan lainnya.
d. Guru harus bisa membentuk karakter anak didiknya agar
mempunyai tingkah laku (moral) yang baik yang sesuai tuntunan Islam.
e. Guru sebagai Konselor
yang akan memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi anak didiknya.
f. Guru sebagai penuntun
dan mengarahkan anak didiknya menuju tujuan pembelajaran yang akan dicapai,
yakni membentuk manusia yang luhur, baik secara kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
3. Kompetensi Guru
a. Guru harus mempunyai
kecerdasan, baik dalam menguasai materi ajar, cara penyampaiannya, dan
menyikapi sekaligus memberikan solusi atas permasalaan yang ada dalam proses
pembelajaran.
b. Guru harus berakhlak
mulia, karena setiap tindakan yang dilakukan oleh guru, akan senantiasa ditiru
oleh anak didiknya. Oleh karena itu, guru harus mempunyai budi pekerti yang
baik, agar anak didiknya menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).
B. SARAN
Pembahasan
tentang pendidik dalam makalah ini, sangatlah jauh dari kesempurnaan, oleh
karena jika ada kesalahan dan kekurangan, kami memohon untuk dibenarkan. Karena
kami sangat butuh saran yang membantu demi kemajuan dan keluasan ilmu
pengetahuan terutama pengetahuan Agama Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Abrasy,
M. Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1970.
Daradjat,
Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam , Jakarta: Bumi Aksara,
1992.
Kementrian
Agama Republik Indonesia, Alqur’an dan tafsirnya jilid 9, Jakarta:
WidyaCahaya, 2011
Kementrian
Agama Republik Indonesia, Alqur’an dan tafsirnya jilid 10,
Jakarta: WidyaCahaya, 2011.
Kementrian
Agama Republik Indonesia, Alqur’an dan tafsirnya jilid 5, Jakarta:
WidyaCahaya, 2011.
Quraish,
M. Shihab, Tafisr Al mishbah (Pesan, Kesan dan keserasian
Al-Qur’an) volume 7,Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Shihab, M. Quraish, Tafisr
Al mishbah (Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an) volume 8,Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
Shihab, M. Quraish, Tafisr
Al mishbah (Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an) volume 14,Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
Tafsir, Ahmad, Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Uhbiyati , Nur, Ilmu
Pendidikan Islam I, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif
Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal.74-75.
[4] Kementrian Agama Republik Indonesia, Alqur’an
dan tafsirnya jilid 9 (Jakarta: WidyaCahaya, 2011), hal. 590-591.
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al mishbah (Pesan,
Kesan dan keserasian Al-Qur’an) volume 7,(Jakarta: Lentera Hati, 2002) hal.
233.
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir Al mishbah (Pesan,
Kesan dan keserasian Al-Qur’an) volume 7, Op. Cit, hal. 236.
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al mishbah (Pesan,
Kesan dan keserasian Al-Qur’an) volume 14, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), hal. 326.
[12] Kementrian Agama Republik Indonesia, Alqur’an
dan tafsirnya jilid 10 (Jakarta: WidyaCahaya, 2011), hal. 205.
[14] M. Quraish Shihab, Tafsir Al mishbah (Pesan, Kesan
dan keserasian Al-Qur’an) volume 8, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
hal. 97.
[17] Kementrian Agama Republik Indonesia, Alqur’an
dan tafsirnya jilid 5 (Jakarta: WidyaCahaya, 2011), hal.
642.
[22]Kementrian Agama Republik Indonesia, Alqur’an dan
tafsirnya jilid 9 (Jakarta: WidyaCahaya, 2011), hal. 531
[24] M. Athiyah Al-Abrasy, Dasar-Dasar Pokok
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 131-134.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar